almuhtada.org – Dalam khazanah Al-Qur’an, terdapat satu pola yang terus-menerus muncul dalam berbagai surah dan ayat yakni ajakan untuk berpikir. Bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi ratusan kali. Lebih dari 800 ayat secara langsung atau tidak langsung mendorong manusia untuk menggunakan akal (‘aql), merenung (tafakkur), memahami (tafaqquh), dan meneliti (tadabbur). Ini bukan kebetulan. Dalam pandangan Islam, akal bukan hanya alat bantu berpikir, tetapi merupakan anugerah ilahi yang harus digunakan secara aktif sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab.
Beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan urgensi. Misalnya, dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 44, Allah berfirman, “Apakah kamu menyuruh manusia (mengerjakan) kebajikan sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab? Maka apakah kamu tidak berpikir?” (Afala ta‘qilun?). Kalimat retoris ini adalah bentuk teguran keras sekaligus pengingat bahwa berpikir adalah tanggung jawab moral bagi siapa pun yang mengaku beriman. Dalam Q.S. Al-An‘am ayat 50, Allah kembali bertanya, “Afala tatafakkarun?” (Apakah kamu tidak merenung?). Sedangkan Q.S. Az-Zumar ayat 9 memberikan pembedaan yang jelas antara orang yang berilmu dan yang tidak, “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?” Ini menunjukkan betapa Islam menempatkan ilmu dan aktivitas berpikir sebagai pilar utama dalam menjalani kehidupan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah “mengapa Allah begitu menekankan pentingnya berpikir dalam Al-Qur’an?” Jawabannya terletak pada misi utama Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, tetapi juga hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Untuk menjalankan amanah ini, manusia harus menggunakan akalnya. Al-Qur’an tidak menginginkan umat yang hanya mengikuti secara membabi buta (taqlid), tetapi mengajak mereka untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab.
Dalam tafsir al-Mishbah, Prof. Quraish Shihab menekankan bahwa perintah untuk berpikir dalam Al-Qur’an bukan hanya untuk mengkaji hukum-hukum syariat, tetapi juga untuk merenungi alam semesta dan segala ciptaan-Nya. Tafakkur adalah jembatan menuju penguatan iman, karena dari perenungan itu manusia menyadari betapa agung dan kompleks ciptaan Allah. Maka tak heran jika ayat-ayat kauniyah (yang berkaitan dengan alam dan fenomena alamiah) jumlahnya begitu banyak dalam Al-Qur’an. Semuanya adalah bahan kajian dan renungan, baik bagi ilmuwan maupun orang awam.
Di sisi lain, perintah untuk berpikir juga menjadi tamparan bagi kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia yang masih terjebak dalam kebodohan, takhayul, dan minimnya budaya literasi. Padahal sejarah Islam mencatat bahwa zaman keemasan umat ini tidak lahir dari kekuatan militer semata, melainkan dari kejayaan ilmu pengetahuan. Para ulama seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Ibnu Rushd adalah contoh nyata bagaimana aktivitas berpikir yang terilhami oleh nilai-nilai Al-Qur’an dapat melahirkan peradaban yang maju dan berpengaruh hingga kini.
Maka, ketika Al-Qur’an mengulang-ulang ajakan untuk berpikir, itu bukan sekadar seruan retoris, melainkan perintah untuk menghidupkan potensi terbesar manusia. Setiap pencarian ilmu, setiap perenungan, bahkan setiap pertanyaan kritis yang lahir dari keingintahuan yang tulus, sejatinya adalah bentuk ibadah. Karena hanya dengan berpikir, iman akan tumbuh, dan hanya dengan ilmu, umat ini akan mampu kembali berkontribusi nyata bagi dunia. []Aisyatul Latifah
Editor
Qoula Athoriq Qodi