Anggota TNI yang Korupsi Diadili di Pengadilan Umum atau Militer?

Ilustrasi Gambar Pengadilan Umum atau Militer (Freepik.com - Almuhtada.org)

Almuhtada.org –  Kontroversi mengenai peradilan bagi anggota TNI yang melakukan korupsi kembali mencuat setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang baru menjadi undang-undang. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah kasus korupsi Kepala Basarnas dua tahun lalu.

Dalam kasus tersebut, TNI mendatangi kantor KPK dan berupaya agar tersangka diproses oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI serta diadili di pengadilan militer. Hal ini memicu perdebatan mengenai ke mana seharusnya anggota TNI yang korupsi diadili.

Secara prinsip, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus ditangani dengan mekanisme hukum yang ketat dan transparan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (jo UU No. 20 Tahun 2001) menjadi dasar utama dalam menindak kasus-kasus korupsi di Indonesia.

UU Tipikor tersebut merupakan senjata bagi aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, dan KPK dalam memberantas korupsi. Dalam undang-undang tersebut, pegawai negeri yang melakukan korupsi dapat diproses secara hukum dan anggota TNI termasuk dalam kategori pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (2) UU Tipikor.

Hal ini diperjelas dalam Pasal 92 ayat (3) KUHP yang menyebutkan bahwa TNI masuk dalam kategori pegawai negeri serta dalam pasal 1 angka (2) huruf c yang menyebutkan bahwa mereka yang menerima gaji dari APBN atau APBD juga tergolong pegawai negeri. Artinya anggota TNI merupakan pegawai negeri (non-sipil) yang dapat dijerat menggunakan UU Tipikor ini.

Baca Juga:  Suara Kebenaran: Whistleblower Sebagai Garda Depan dalam Membongkar Skandal Korupsi

Dalam konteks ini, anggota TNI yang melakukan korupsi harus tunduk pada UU Tipikor karena tidak ada UU lain yang mengatur secara khusus tindak korupsi yang dilakukan oleh TNI. Ini artinya mereka harus diadili di pengadilan umum, bukan di pengadilan militer. Mengapa demikian? Karena peradilan militer seharusnya hanya mengadili tindak pidana yang dilakukan dalam kapasitas anggota TNI terkait tugas dan fungsi kemiliterannya.

Sebagai contoh, jika seorang anggota TNI melakukan pelanggaran disiplin atau kejahatan perang, maka hal tersebut menjadi kewenangan pengadilan militer. Namun, jika seorang anggota TNI melakukan tindak pidana umum, seperti memperkosa warga sipil atau melakukan korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran negara, maka ia harus diadili di pengadilan umum.

Lebih lanjut, UU Peradilan Militer memang mengatur bahwa peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI. Namun, frasa “tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI” perlu dimaknai lebih dalam.

Dalam hukum pidana dikenal konsep delik propria (tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh orang dengan kualifikasi tertentu) dan delik komun (tindak pidana yang bisa dilakukan oleh siapa saja). Jika suatu tindak pidana merupakan delik komun seperti korupsi, maka pengadilan umum seharusnya lebih berhak mengadilinya.

Kasus Kepala Basarnas menjadi contoh nyata betapa sensitifnya isu ini. Upaya agar tersangka diproses di pengadilan militer mengindikasikan adanya potensi intervensi yang bisa melemahkan transparansi hukum. Peradilan militer sering dikritik karena dianggap kurang independen dan tertutup, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap akuntabilitas penegakan hukum di lingkungan militer.

Baca Juga:  Pertamax Dioplos : Masalah Korupsi yang Terus Berulang

Jika pemerintah serius dalam memberantas korupsi, tidak boleh ada pengecualian atau perlakuan istimewa bagi aparat negara, termasuk TNI. Reformasi hukum harus tetap berlandaskan pada prinsip transparansi dan keadilan.

Oleh karena itu, anggota TNI yang melakukan korupsi seharusnya diadili di pengadilan umum agar proses hukum dapat berjalan dengan lebih akuntabel dan terbuka bagi publik. [] SHOLIHUL ABIDIN

Editor : Aulia Cassanova

Related Posts

Latest Post