almuhtada.org – Ketika berbicara tentang penjelajah dunia, nama Marco Polo mungkin sering disebut. Namun, di balik gemerlap sejarah dunia Barat, ada seorang penjelajah Muslim bernama Ibnu Batutah yang kisahnya tidak kalah epik. Lahir di Tangier, Maroko, pada 25 Februari 1304, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati at-Tanji bin Batutah. Berasal dari keluarga ulama bermazhab Maliki, Ibnu Batutah muda dikenal sebagai sosok yang haus akan ilmu, terutama dalam bidang agama.
Di usia 21 tahun, Ibnu Batutah memulai perjalanan pertamanya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dengan menunggang keledai sendirian, ia meninggalkan tanah kelahirannya pada 22 Juni 1325. Namun, siapa sangka, perjalanan itu menjadi awal dari petualangan yang akan berlangsung selama hampir tiga dekade. Ibnu Batutah menjelajahi lebih dari 40 negara, mencakup wilayah Asia, Afrika, dan Eropa, dengan total jarak perjalanan mencapai 120.700 kilometer — setara tiga kali keliling bumi di garis khatulistiwa.
Ibnu Batutah sering menghadapi tantangan ekstrem. Saat melewati Afrika Utara, ia terserang demam parah hingga harus mengikat dirinya ke pelana agar tidak jatuh. Di India, ia pernah diculik dan dirampok hingga hanya menyisakan pakaian yang ia kenakan. Meski demikian, ia terus melanjutkan perjalanan dengan semangat yang tak pernah surut. Dalam setiap perjalanannya, ia mengandalkan statusnya sebagai ulama untuk mendapatkan keramahan dan perlindungan dari penduduk setempat. Bahkan, ia sering dihujani hadiah berupa pakaian mewah, kuda, hingga budak.
Perjalanan Ibnu Batutah bukan hanya soal petualangan, tetapi juga pengetahuan. Selama di Mesir, ia mendalami hukum Islam, dan di India, ia bekerja sebagai hakim untuk Sultan Muhammad Tughluq. Tidak hanya itu, Ibnu Batutah juga menjadi saksi keindahan dunia yang ia lewati, seperti Mogadishu di Somalia, Grand Canal di Tiongkok, hingga Hagia Sophia di Bizantium. Ia bahkan sempat tinggal di Maladewa, menikahi beberapa wanita, dan menjadi hakim di sana sebelum melanjutkan perjalanannya.
Setiap wilayah yang dikunjungi Ibnu Batutah menyimpan pengalaman unik. Di Maladewa, ia mengagumi keindahan alam sekaligus mengkritik sistem pemerintahan setempat. Saat berada di Tiongkok, ia terpesona dengan budaya lokal, termasuk penggunaan uang kertas yang saat itu jarang ditemui di belahan dunia lain. Ia juga mencatat interaksi dengan komunitas Muslim di berbagai wilayah, menyoroti bagaimana Islam menyatu dengan tradisi lokal di tempat-tempat seperti Asia Tengah dan Afrika Timur.
Namun, yang membuat Ibnu Batutah dikenang bukan hanya jarak yang ia tempuh, tetapi juga catatan perjalanannya yang sangat detail. Saat kembali ke Maroko pada 1354, Sultan Marinid meminta Ibnu Batutah mendokumentasikan kisahnya. Dengan bantuan seorang penulis bernama Ibnu Juzai, lahirlah buku monumental berjudul Rihla (Perjalanan). Buku ini menjadi salah satu dokumen penting tentang dunia Islam abad ke-14, mencatat berbagai budaya, tradisi, dan masyarakat yang ia temui.
Prestasi Ibnu Batutah diabadikan hingga kini. Namanya tercantum di kawah bulan, sebuah mal megah di Dubai dinamai Ibnu Batutah Mall, dan banyak literatur menjadikannya ikon eksplorasi dunia. Bahkan, ada klaim bahwa ia pernah singgah di Amerika sebelum Columbus. Hal ini semakin menegaskan pengaruh luas Ibnu Batutah sebagai seorang penjelajah ulung.
Selain itu, Ibnu Batutah juga dikenal sebagai pelopor penjelajahan ilmiah. Ia tidak hanya menggambarkan keindahan alam atau kemegahan istana, tetapi juga mencatat adat istiadat, kebiasaan masyarakat, hingga struktur pemerintahan di setiap tempat yang ia kunjungi. Ini menjadikan Rihla bukan hanya sebuah catatan perjalanan, tetapi juga ensiklopedia budaya yang sangat berharga.
Ibnu Batutah mengajarkan kepada dunia bahwa perjalanan bukan sekadar menempuh jarak, tetapi juga memperluas wawasan, membangun toleransi, dan memahami keberagaman manusia. Ia membuktikan bahwa pengetahuan dan pengalaman tidak memiliki batas geografis. Meski ia meninggal sekitar tahun 1368, kisahnya tetap hidup sebagai inspirasi bagi siapa pun yang berani melangkah ke dunia yang belum dikenal. [Raffi Wizdaan Albari]
Editor: Syukron Ma’mun