Almuhtada.org – Pajak adalah kontribusi wajib dari masyarakat, terutama dari sektor swasta, kepada negara yang diatur melalui Undang-Undang. Tujuan utama pemungutan pajak adalah untuk membiayai pengeluaran negara, seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas publik, dan layanan masyarakat. Dalam prosesnya, pengambilan daya beli dari masyarakat ini memberikan beban langsung yang dirasakan oleh rakyat, terutama mereka yang terlibat dalam aktivitas ekonomi dan transaksi jual beli.
Pungutan pajak merupakan proses pemindahan sebagian kekayaan masyarakat ke kas negara. Langkah ini dilakukan untuk membiayai berbagai kebutuhan negara yang bersifat umum. Pemungutan pajak sering kali muncul sebagai respons terhadap kebutuhan yang mendesak, misalnya pembiayaan pembangunan atau penyelesaian masalah sosial. Namun, penting dipahami bahwa pajak bukan hukuman atau denda. Sebaliknya, pajak adalah wujud partisipasi dan ketaatan masyarakat kepada pemerintah selaku pengelola negara.
Agar proses pemungutan pajak berjalan dengan adil dan sesuai aturan, pemerintah harus memiliki dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya pungutan liar atau pajak ilegal yang bertentangan dengan norma hukum di suatu negara.
Dalam praktiknya, pemungutan pajak dilakukan melalui beberapa sistem, yaitu:
- Self-Assessment System: Wajib pajak (individu atau perusahaan) menghitung, melaporkan, dan membayar pajaknya sendiri.
- Official Assessment System: Pemerintah yang menghitung dan menetapkan besaran pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.
- Withholding System: Pemotongan pajak secara langsung oleh pihak ketiga (seperti perusahaan) dari penghasilan wajib pajak, misalnya pemotongan pajak penghasilan (PPh) dari gaji karyawan.
Dengan sistem yang jelas dan landasan hukum yang kuat, proses pemungutan pajak dapat berjalan lebih efektif, adil, dan transparan. Partisipasi masyarakat dalam membayar pajak merupakan wujud nyata kontribusi terhadap pembangunan bangsa dan terciptanya keadilan sosial.
Pajak dalam Islam
Pajak merupakan instrumen penting dalam pembangunan suatu negara. Dalam Islam, pajak dikenal dengan istilah “kharaj” dan memiliki konsep yang berbeda dengan sistem perpajakan konvensional. Pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah, terdapat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pajak, seperti jizyah, kharaj, dan usyr. Seiring perkembangan zaman, pandangan para ulama dan cendekiawan muslim tentang pajak pun terus berkembang.
Konsep Pajak dalam Islam
Pajak dalam Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak bagi non-Muslim), dan usyr (bea cukai atau pajak perdagangan). Setiap istilah tersebut memiliki makna dan konteks penerapan yang berbagai sesuai kondisi sosial dan ekonomi.
Pajak berbeda dengan zakat, pajak bersifat temporer dan dipungut hanya jika Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi kebutuhan negara. Sementara zakat merupakan ibadah yang bersifat wajib dan permanen dengan ketentuan nisab dan haul.
Apakah negara boleh menerapkan sistem pajak kepada masyarakat terutama umat Islam? Simak penjelasannya.
Berikut beberapa poin penting tentang memperbolehkan dan tidak memperbolehkannya pajak dalam Islam menurut Gazali (2015), dengan argumentasi yang melandasinya. Akan tetapi para ulama memperbolehkan pemungutan pajak asalkan memenuhi syarat yang ditentukan, yakni:
- Negara berkomitmen dalam menerapkan syariat islam.
- Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara.
- Tidak ada sumber lain yang Bisa diandalkan oleh Negara baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
- Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
- Pemungutannya harus adil yaitu dipungut dari orang kaya saja dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh berfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
- Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus-menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja. Ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
- Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
- Besarnya pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Darimana saja dalil-dalil yang membolehkan pajak dalam Islam, berikut penjelasannya.
- Al-Baqarah: 177
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa memberikan harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan orang yang membutuhkan adalah perbuatan mulia yang disejajarkan dengan kewajiban pokok seperti iman kepada Allah, shalat, dan menepati janji. Karena hal ini disejajarkan dengan kewajiban pokok, maka membantu sesama, termasuk dengan pajak, dapat dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab sosial yang wajib.
- Hadis Tentang Hak Tamu
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa menghormati tamu adalah wujud keimanan kepada Allah dan Hari Akhir. Tuan rumah diwajibkan melayani tamu dengan baik selama tiga hari. Setelah itu, pelayanan tersebut dianggap sebagai sedekah. Logikanya, jika melayani tamu saja wajib, apalagi membantu pemerintah dalam menjaga stabilitas negara melalui pajak.
- Al-Ma’un
Allah mengecam orang yang enggan menolong fakir miskin dan menyebut mereka sebagai orang yang celaka. Hal ini menunjukkan bahwa membantu sesama, terutama yang membutuhkan, adalah kewajiban. Pajak yang digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam ayat ini.
- Kaidah Fikih: “Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan Daripada Mendatangkan Manfaat”
Jika kas negara kosong, maka negara bisa menghadapi ancaman dari dalam maupun luar, termasuk ancaman keruntuhan ekonomi. Dalam kondisi ini, para ulama membolehkan pemungutan pajak untuk mencegah kerusakan besar yang lebih membahayakan. Membayar pajak lebih baik daripada kehilangan semua harta akibat jatuhnya negara ke tangan musuh.
- Perintah Jihad dengan Harta
Islam memerintahkan jihad tidak hanya dengan jiwa, tetapi juga dengan harta (QS. At-Taubah: 41, 49:15, 61:11). Dalam konteks ini, pemerintah berhak meminta sebagian harta dari umat Islam sebagai dukungan finansial. Pajak dianggap sebagai salah satu bentuk jihad harta yang bertujuan memperkuat negara dan melindungi umat dari ancaman.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak dalam Islam diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Pajak tidak sama dengan zakat, melainkan merupakan kewajiban tambahan yang diberlakukan dalam kondisi darurat. Konsep pajak dalam Islam mengedepankan prinsip keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap masyarakat lemah.
Islam membolehkan pemungutan pajak jika sumber keuangan negara, seperti zakat, jizyah, dan usyr, tidak mencukupi. Dalil dari Al-Qur’an, Hadis, dan kaidah fikih mendukung pembolehan pajak ini. Selama pajak dipungut secara adil, transparan, dan hanya dari orang-orang kaya, maka pajak dianggap sah menurut hukum Islam.
Pajak bukanlah sekadar kewajiban administrasi, tetapi juga wujud partisipasi umat dalam membangun negara dan melindungi umat dari ancaman. Dengan adanya pajak, negara memiliki dana untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang taat, kita perlu memahami bahwa pajak adalah salah satu wujud nyata dari gotong royong dan ketaatan kita kepada Allah, Rasul, dan ulil amri (pemimpin). [] Raffi Wizdaan Albari
Editor : Raffi Wizdaan Albari
Daftar Pustaka
Gazali (2015). PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah, 7(01), 84-102.
SABARYANTO, S (2017). TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI BUNGA UTANG PAJAK (Study Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/pmk/.03/2015). Undergraduate thesis, UIN Raden Intan Lampung.