Almuhtada.org – Manusia disebutkan sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, seperti dalam Q.S. Al-Alaq ayat 2, menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari segumpal darah, dan merupakan sebaik-baiknya ciptaan.
Seringkali hal tersebut membuat kita sombong dan congkak akan derajat manusia di mata makhluk- makhluk Allah yang lainnya. Padahal, di mata Allah sendiri, kita hanyalah salah satu dari makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.
Kesempurnaan manusia ini tentu memiliki batas yang lebih daripada itu, walau dibekali ilmu pengetahuan dan kesempurnaan bentuk, manusia juga tak luput dari salah dan khilaf.
Apa-apa yang manusia kerjakan, pasti sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Mau seberapa keras pun usahanya, manusia tidak dapat melawan takdir Allah sebagai sang Maha Pencipta.
Hal tersebut juga mendasari bahwa manusia, memiliki batas dalam berekspektasi kepada takdir. Ekspektasi yang terlalu tinggi dianggap sebagai kesombongan akan nasibnya sendiri, karena jika ekspektasi tersebut tidak tercapai, hanya kesedihan yang akan menunggu manusia.
Lalu sebagai makhluk sosial, manusia juga seringkali merasa bisa mengatur segalanya. Hal semacam apa yang dipikirkan orang lain, atau terlalu mengandalkan orang lain, bukanlah sesuatu yang dapat mereka atur.
Kita perlu memahami apa-apa yang menjadi batas kita sebagai manusia, terlalu banyak menanggung tanggung jawab juga seringkali membuat kita terlena untuk melampaui batas, sehingga ekspektasi orang lain yang tidak tercapai, hanya akan mengundang kekecewaan bagi kita dan orang lain.
Sama hal nya dengan pemikiran orang lain, kita tidak dilengkapi dengan mukjizat atau kekuatan untuk membaca maupun mengatur pikiran orang lain. Tetapi kita juga masih saja sibuk akan pemikiran orang lain yang kita pun belum tau benar atau tidaknya hal tersebut.
Alih-alih kita mencoba untuk mengatur perlakuan orang lain terhadap kita, lebih baik kita belajar untuk merespon hal tersebut sebaik mungkin. Dengan sesuatu yang bisa kita atur, yaitu pikiran kita sendiri.
Batas-batas lain seperti kesenangan, kesedihan, amarah, atau perasaan-perasaan umum manusia, juga perlu kita pahami agar tidak berlarut-larut dalam kesia-siaan. Kita mungkin bisa mengatur perasaan atau pemikiran kita, namun bagaimana kita mengimplementasikan atau mengekspresikan juga perlu disiapkan sedemikian rupa.
Respon yang terlalu bersemangat tidaklah selalu baik, respon yang tidak percaya diri juga tak selalu benar, kita mencoba untuk memaksimalkan apa yang kita bisa rasakan, sesuai dengan realita yang terjadi.
Pada akhirnya, semua penjelasan tadi bukanlah kunci mencapai kesempurnaan sebagai manusia, melainkan penekanan, bahwa kesalahan, dan ketidakmampuan, adalah hal paling moril untuk manusia lakukan.
Kita melakukan kesalahan, kita melakukan sebuah dosa, tapi kita tidak serta-merta menjadi manusia yang hina. Nasib kita selanjutnya, ditentukan dengan bagaimana kita bertanggung jawab dengan kesalahan tersebut.
Batas-batas yang saya maksud juga menjelaskan bahwa sangat lumrah bagi manusia untuk membuat kesalahan, pada akhirnya kita tidak bisa menyelesaikan semua yang kita rencanakan, kita tidak bisa mencapai semua yang kita target kan.
Maka, cukup evaluasi diri, lapangkan hati, perbanyak sabar dan maksimalkan apa yang kita bisa. Jangan lupa hakikat kita sebagai manusia, yang hanya sebatas hamba, di mata Sang Pencipta. [] M. Rayn Nurdiyana
Editor : Raffi Wizdaan Albari