Al Muhtada.org- Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam menawarkan pandangan yang unik dan komprehensif mengenai hakikat manusia. Dalam tinjauan filologis, Al-Qur’an menggunakan tiga istilah utama untuk merujuk pada manusia: basyar, insan, dan an-nas. Ketiganya menggambarkan manusia dalam berbagai dimensi biologis, psikologis, spiritual, dan sosial yang saling melengkapi dan membentuk identitas manusia secara utuh.
Pertama adalah kata Basyar yang mengungkap manusia dari segi makhluk biologis. Kata basyar, yang disebut sebanyak 27 kali dalam Al-Qur’an, menekankan aspek biologis manusia. Istilah ini merujuk pada sifat-sifat fisik manusia, seperti kebutuhan akan makan, minum, dan hubungan biologis. Contohnya, Rasulullah SAW disebut sebagai basyar untuk menunjukkan kesamaan biologisnya dengan manusia lain. Dalam konteks ini, Al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia, sebagai basyar, tunduk pada hukum alam yang telah ditetapkan Allah.
Kedua ialah kata Insan yang menjelaskan manusia dari dimensi psikologis dan spiritualitas. Sebagai insan, manusia tidak hanya didefinisikan oleh aspek biologisnya tetapi juga oleh sifat intelektual dan spiritualnya. Al-Qur’an menyebut kata insan sebanyak 65 kali, sering kali untuk menggambarkan manusia sebagai makhluk yang diberikan amanah, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Ahzab: 72. Amanah ini mencakup kemampuan memahami ilmu, berkontribusi pada tatanan dunia yang baik, dan berinteraksi dengan moralitas tinggi.
Namun, insan juga digambarkan memiliki predisposisi negatif, seperti tergesa-gesa, sombong, dan lalai terhadap kewajiban spiritualnya. Dalam paradoks ini, manusia berjuang untuk memilih jalan kebaikan, melampaui dorongan negatif yang melekat dalam dirinya.
Kata an-nas yang menerangkan manusia dari segi makhluk sosial disebutkan sebanyak 240 kali dalam Al-Qur’an. Manusia sebagai al-nas digambarkan hidup dalam masyarakat, terhubung satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Al-Qur’an mengidentifikasi berbagai tipe manusia di masyarakat, mulai dari yang bertakwa hingga yang sombong dan menentang kebenaran.
Frasa seperti aksar an-nas (kebanyakan manusia) menunjukkan bahwa mayoritas manusia seringkali lalai, kurang bersyukur, dan enggan beriman. Sebaliknya, qalil mina an-nas (sedikit manusia) menggambarkan mereka yang benar-benar beriman dan menjalankan amanah dengan baik.
Dari perspektif Al-Qur’an, manusia ideal adalah yang mampu menyelaraskan dimensi biologis, psikologis, dan sosialnya. Ketiganya tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, apalagi saling mendominasi. Jika dimensi biologis terlalu menonjol, manusia bisa jatuh ke tingkat yang lebih rendah dari binatang. Sebaliknya, keseimbangan antara dimensi spiritual dan sosial akan mengantarkan manusia menjadi khalifah yang bertanggung jawab di muka bumi.
Semua ini menunjukkan bahwa konsep manusia dalam Al-Qur’an tidak sekadar filosofis, tetapi juga aplikatif. Pemahaman tentang basyar, insan, dan al-nas mengingatkan kita akan pentingnya menjalani hidup secara seimbang dan integral, menjunjung amanah yang telah diberikan Allah, sekaligus berkontribusi positif kepada masyarakat. Dengan memahami ketiga terminologi ini, kita dapat lebih memahami peran kita sebagai manusia yang utuh di hadapan Tuhan, sesama, dan alam semesta. [] Sholikul Abidin