Almuhtada.org – Sumber artikel ini berasal dari tulisan Amirul Ulum, seorang alumni santri Sarang, Kabupaten Rembang.
Beliau adalah salah satu santrinya almarhum Mbah Maimoen Zubair, ulama Jawa yang sangat alim dan terkenal di Indonesia bahkan dunia. Dalam tulisannya, Amirul Ulum berhasil menggambarkan transmisi silsilah keilmuan di lingkungan pesantren.
Ditengah-tengah zaman globalisasi saat ini, dimana lebih banyak orang sibuk berkompetisi untuk mengejar pangkat dan formalitas ijazah, santri Sarang mampu melestarikan ilmu yang menjadi ciri khas pesantren.
Apabila suatu saat kita mendapatkan kesempatan berkunjung ke kota Sarang dan menyempatkan mampir ke lingkungan pesantrennya, insyaallah kita akan menemukan keindahan sisa peninggalan ulama kuno yang masih dilestarikan, salah satunya adalah syair kitab Alfiyah karya ulama Andalus bernama Ibnu Malik. Bait-bait syair ini masih bergema disenandungkan oleh santri-santri Sarang di aula-aula pesanten.
Sedikit kisah tentang santri Sarang, bahwasanya dalam tulisan Amirul diceritakan bagaimana santri Sarang tetap enjoy memahami ilmu pesantren (agama) seolah-olah tidak ada beban berat yang mengganjal di benak pikiran untuk menyongsong masa depan yang penuh misteri.
Mereka lebih mengutamakan pemahaman keilmuannya dibandingkan selembar ijazah yang bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi pada santri Sarang yang telah menamatkan studi belajarnya di Lembaga Pendidikan Muhadloroh Al-Anwar.
Ijazah mereka masih terhitung banyak yang tersimpan rapi di kantor madrasah. Mereka ingin meniru jejak-jejak ulama terdahulu yang semata-mata ikhlas dan lebih mendahulukan ilmu dibanding dengan hal lainnya. Barakah memang ada.
Kualitas keilmuan santri Sarang sudah teruji, hal ini dapat dilihat dari para alumninya berhasil sukses dan bermanfaat di wilayah nusantara.
Tradisi metode yang digunakan ulama Sarang dalam mengajar santri-santrinya berupa metode ngaji bandongan (collective learning process) dan sorogan (individual learning process). Ada juga metode yang dipakai yaitu metode sanad atau isnad.
Ini adalah sebuah rentetan rantai-rantai riwayat dari perawi atas suatu hadits atau kitab kepada sumbernya. Atau bisa diberi pengertian tentang silsilah keilmuan dari seorang murid kepada gurunya hingga kepada sumbernya.
Seperti sanad hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari hingga berujung kepada Rasulullah Saw. Atau sanad dari kitab Shahih Bukhari dari seorang ulama yang berujung kepada Imam Bukhari.
Sanad ini akan dibaca oleh kyai atau ustadz/ah pengampu pada saat menamatkan ngaji kitab. Sanad merupakan perkara yang penting dalam agama, terlebih dalam masalah ilmu hadis.
Ibnu Mubarak berkata, “Sanad bagiku merupakan bagian dari agama. Jikalau tidak ada sanad, niscaya orang akan mengucapkan sesuatu dengan seenaknya sendiri.” Dengan adanya sanad, kita dapat mengetahui kuat lemahnya sebuah sumber ilmu yang dipelajari.
Karena pentingnya sebuah sanad, maka sangat dianjurkan bagi santri yang thallabul ilmi dalam mencari guru yang alim dan wirai (menjaga dari perkara-perkara yang haram). Sebab, ilmu yang kita ambil dari seorang ulama adalah termasuk dalam kategori agama, maka dari itu lihatlah dengan siapa engkau mengambil agama tersebut.
Mengetahui sanad dari suatu disiplin keilmuan mulai awal hingga terakhir bukanlah perkara yang wajib secara individual. Namun jika sanad ini disia-siakan, akan dikhawatirkan berdampak agama ini menjadi tersia-sia.
Sebab, sudah teruji ketika kaum Yahudi dan Nashrani menyia-nyiakan pentingnya sanad, agama mereka menjadi tersia-sia sebab banyak oknum yang mengubah kitab suci kedua kaum tersebut dengan sesuka hatinya.
Abdullah bin Mubarak berkata, “Perumpamaan seorang yang mencari perkara yang ada kaitannya dengan agama tanpa dibarengi dengan sanad itu bagaikan seorang yang ingin naik ke atap rumah tanpa perantara sebuah tangga.”
Tradisi sanad di pesantren Sarang masih tetap lestari di zaman globalisasi saat ini. Terkadang Santri Sarang juga memperoleh sanad tidak dari ulama yang ada di Sarang. Akan tetapi, dari ulama luar negeri yang berkunjung di Sarang. [] Nihayatur Rif’ah
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah