Oleh:
Ema Aditya Mahendra
Begitu kumal pakaiannya. Namun bertolakbelakang dengan fisiknya. Nampaknya lelaki ini tidak seperti kebanyakan pengamen yang biasanya kau temui di sudut-sudut pinggiran kota. Mungkin lelaki ini lebih mirip mereka yang dapat tidur nyenyak disamping kekasihnya yang cantik dan sebotol minuman soda di sela-sela mejanya, dan ketika mereka bangun, mereka pergi beranjak dari tempat tidur untuk menuju rutinitas perkantoran. Lengannya pun tidak menunjukkan urat-urat berlebih, seperti anak bayi baru dilahirkan yang tidak pernah mengenal kerasnya dunia luar.
Tidak. Tidak. Apa yang saya pikirkan?. Setidaknya pria ini sama seperti kebanyakan pengamen yang lain, hanya bergumam menyanyikan lagu di setiap jalan di pasar, yang manakala orang mendengarnya meyuruhnya berhenti dan memberi uang. Tidak ada yang spesial. Kecuali senyum ikhlas yang tersungging dalam wajahnya dengan tatapan pasrah berserah, dan sebatang rokok di jemarinya yang terlihat tidak pandai dalam memegangnya.
“Bukankah meletihkan? Sepanjang hari di pinggir pasar mengais uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Setidaknya itu ganjaran untuk orang yang malas belajar ketika sekolah” Pertanyaan yang terlontar dari mulut saya ketika kebetulan saya sedang duduk dipinggir pasar bersama lelaki tersebut
Ia hanya sedikit tersenyum tanpa menjawab
“Mau pergi kemana?” ia mengalihkan pembicaraan.
“Ah, saya mau pergi kuliah”
Pada saat itu memang saya terlihat menggunakan seragam rapih seperti mahasiswa perkuliahan. Kegiatan kuliah memang masih lama, namun saya seharusnya ada jadwal dengan dokter pemeriksaan gigi tepat sebelum berangkat kuliah. Namun saya lebih memilih duduk di pinggir pasar, berteduh karena hujan kala itu.
“Apakah kamu tidak bisa merokok dengan benar?”
“Terkadang saya terkendala dalam menghisapnya, sehingga batangnya basah seluruhnya”
Saya memang bukan perokok, namun saya sering melihat teman-teman saya merokok sehingga saya berkesimpulan cara lelaki tersebut merokok sangatlah amatir dimata perokok aktif.
“Ah yasudahlah, setidaknya kamu bisa bermain-main dengan asapnya” tutur saya.
Ia tersenyum renyah.
“Bagaimana menurutmu? Mengapa banyak sekali orang yang berbondong-bondong pergi ke tempat itu? (kuliah)”
“ Ya karena tempat tersebut cukup memberi jaminan untuk ‘hidup enak’, kau tahu?”
“Oh iya saya paham” pungkas nya.
Saya mengatakan demikian karena melihat banyak orang yang sekiranya lulus dari sana memiliki kesibukkan baru dengan dasi dilehernya. Dalam mendaftar pekerjaan, untuk memperbesar peluangmu diterima, paling tidak kamu harus memiliki ‘kertas ajaib’ yang kau dapat setelah lulus dari sana.
“Apakah kamu senang menempuh pendidikan disana? Lelaki tersebut bertanya kembali.
“Tidak juga, saya melakukannya bukan berarti saya turut menikmatinya”
“Mengapa demikian?”
“Entahlah, terkadang saya memerlukan makanan untuk memenuhi kebutuhan perut saya ketika lapar”
Saya menghela napas, dan kemudian melanjutkan.
“Dalam memperoleh makanan, di dunia yang serba dengan ketergantungan, kamu harus membelinya menggunakan uang yang cukup. Saya pikir dengan kuliah, saya dapat menghasilkan uang untuk membeli makanan. Sekiranya begitulah kehidupan berjalan. Meskipun tidak semua orang memiliki motif yang serupa dengan saya. Namun setidaknya teman-teman saya mempunyai tujuan yang seragam dengan saya”.
“Haha, kau membuatnya terdengar seperti kewajiban yang manakala kalau tidak dituruti kau akan mati. Sebab fokusmu pada uang. Lalu apa keinginanmu dalam hidup, apakah bisa diperoleh dengan cara-cara seperti itu”
“Oh ya tentu saja bisa. Menurut saya, tujuan hidup merupakan motivasi yang paling kuat dalam mendorong saya untuk maju dan berkembang. Setelah lulus dari kuliah, bisa saja kamu menghasilkan uang yang sangat banyak. Meskipun memang uang bukan tujuan hidup saya. Namun melalui uang, kamu tidak hanya dapat sekedar membeli makanan. Bahkan kamu bisa saja membeli tujuan hidup, yaitu memperoleh kebahagiaan, untuk saya dan semua orang. Melalui uang penderitaan orang dapat dihilangkan”.
“Dan kemudian saya menyadari bahwa tidak semua orang yang memiliki banyak uang berasal dari dunia perkuliahan. Seperti Thomas Alva Edison, Bob Sadino, atau ibu menter kita, Bu Susi menteri ikan. Tapi disi lain, saya juga menyadari bahwa saya bukanlah Thomas Alva Edison yang ketika lahir telah diberikan kemampuan otak diatas rata-rata. Saya juga bukan Bob Sadino yang memiliki pikiran bisnis luar biasa. Dan saya juga bukan Bu Susi menteri ikan yang memiliki latarbelakang perikanan. Saya adalah saya. Sama halnya dengan kebanyakan orang yaitu manusia biasa yang lahir dengan kemampuan standar. Tidak ada yang spesial” Saya lanjut panjang lebar.
Hujan mulai gerimis belum berhenti juga.
“Bagaimana denganmu? Mengapa tidak melakukan hal yang seperti saya lakukan?” Tanya saya
Lelaki tersebut tersenyum ketika saya menyodorkan pertanyaan tersebut.
“Saya tidak peduli seberapa banyak buku yang kamu baca atau seberapa bodohnya diriku hingga tidak dapat masuk kedalam perkuliahan itu. Kamu tidak bisa menaruh manusia dalam kotak pandora yang sama. Saya tidak akan merepotkan sebagian waktu saya untuk mewujudkan hal tersebut. Tidak. Bisa dibilang saya telah mewujudkannya. Sebenarnya perhatianmu terlalu tertuju pada enaknya hidup mewah dan maju, sehingga kamu melupakan esensi enaknya hidup sederhana dan menjadi manusia yang tertinggal. Adapun perwujudan tersebut dilakukan dalam upaya mempertahankan hidup, seharusnya kamu tidak perlu takut akan kematian. Kematian adalah keniscayaan, semua makhluk yang hidup pasti akan mati” ia menjawab
Dengan wajah senyum kecil, penuh pemakluman dalam menjalani hidup, ia melanjutkan
“Jika disuruh memilih, mana yang lebih baik, menjadi orang yang pintar atau orang bodoh.
Saya sendiri lebih memilih menjadi orang bodoh. Sebab, ketika kamu tenggelam dalam kepintaran, semakin terbuka pikiranmu, dan sadar apa yang kamu yakini sebagai comforting truth.
Dengan hidup menjadi bodoh, hidup akan jauh lebih mudah. Tanggungjawab dan kewajiban akan lebih ringan.
Disini, dijalanan, saya telah mendapatkan apa yang saya inginan, saya mendapatkan kebermaknaan hidup. Sebagai berserah bahwa hidup dan mati adalah keniscayaan. Saya bisa menertawakan kehidupan bersama dengan teman yang saya ajak bicara. Minum segelas air dingin bersama para kawakan, dan saya tidak pernah menyesal setiap detik kehidupan yang telah berlalu”
Kemudian saya memotong
“Tapi bagaimana dengan tuntutan kewajibanmu? Kau tahu, seperti membeli makanan”
Lelaki itu menghisap rokoknya dan menyembulkan asapnya dengan leher mendongak keatas
“Menjawab pertanyaan itu sama seperti menjawab mengapa saya masih hidup sampai sekarang ini. Memang pekerjaan saya sebagai pengamen adalah sepele. Namun saya pikir Tuhan tidak sekeji itu, saya percaya disamping saya ada malaikat yang selalu mengawasi ku haha”
“ Sometimes hope in something feel more comfort than finding the truth”
Kalimat indah yang terlontar dari lelaki dengan pekerjaannya sebagai pengamen tersebut.
“Baiklah, mungkin saatnya saya pergi kuliah”
Saya beranjak berdiri untuk kemudian pergi.
“Oh ya saya ingin memberitahu, paman ku, si pria tua jahil itu sering mengatakan pada saya. Hidup ini memang cukup keras, namun pada akhirnya kamu hanya disodorkan pada dua pilihan yaitu antara sibuk untuk hidup atau sibuk untuk mati, dan kau bebas untuk memilihnya”
“Oh yaa? Saya akan pikirkan pilihan itu, sampai jumpa” saya lekas pergi menuju kuliah.
Setelah 6 bulan berlalu, saya melihat lelaki pengamen tersebut disuatu tempat yang cukup mewah, dan ternyata memang dia selama ini merupakan anak seorang pejabat yang kebetulan krisis eksistensi, bosan dengan kehidupan serba adanya, dan ingin mencoba berada di sisi lain roda kehidupan, sehingga memutuskan untuk mengamen.
Selamat sore, selamat tenggelam dalam lamunan, dan selamat beraktivitas
Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang