Oleh Wihda Ikvina Anfaul Umat
Saat diriku merasa hampa, kemanakah arah yang akan aku tuju? Aku yakin bahwa ada kekuatan yang akan menolong tanpa harus aku meminta. Aku yakin ada yang akan mengasihi tanpa harus aku menangis dan berkeluh kesah. Aku sekarang menengok ke belakang. Jauh sebelum saat ini, aku temui banyak noda yang usang dan susah untuk kuubah. Bahkan setelah aku menyikatnya dengan penuh tenaga, tetap saja meninggalkan bekas. Kulihat lagi lembaran lembaran hitam yang pernah kulalui sangat hitam, pekat dan padat. Rasanya sangat mustahil untuk kucairkan kembali. Kala itu kutantang diriku bahwa hidup bukan hanya untuk kulihat namun juga harus kunikmati keindahannya.
Aku akan lakukan hal itu sesukaku walaupun nyatanya hatiku tak sejalan. Aku akan raih kebahagian hingga aku merasa puas. Aku akan melupakan sesuatu, bahwa dalam kebahagian yang kujalani ada kebahagiaan lain yang aku rusak dan dan tidak aku sadari bahwa mereka menangis. Hatinya tersayat karena perjuangannya aku abaikan. Aku porak-porandakan tanpa mengetahui hal apa yang harus mereka lakukan demi diriku. Keesokannya harinya mereka mengungkapkan semua padaku tentang rasa kecewa yang teramat besar kepada buah hati yang mereka sayangi ini. Aku hanya bisa terdiam merasa bersalah dan bingung. Ah, aku ini sebenarnya manusia berperasaan atau tidak. Hal begini bagaimana mungkin aku tidak bisa memahami.
Suatu ketika mereka membuat keputusan yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi pada diriku. Aku yakin mereka bukan orang bodoh yang mempermainkan masa depan aku. Mereka sudah pasti mengetahui apa yang terbaik untuk diriku. Aku akan menerima apa yang telah diputuskan mereka untuk diriku, walaupun sebenarnya berat tapi yang aku yakini ini pasti tidak seberat kecewa seperti yang telah mereka rasakan. Aku sekarang tiba pada suatu tempat tidak ada kebahagiaan. Kebahagiaan lama yang kelam namun sekarang suah menjadi suatu yang berbeda. Ya, sekali lagi ini sangat berbeda. Aku mulai mengartikan bahwa kebahagiaan adalah ketika aku dapat melihat mereka yang menjagaku dari masa kecil hingga saat ini tersenyum senang. Aku selanjutnya juga menyadari jika aku memperjuangkan kebahagiaan mereka, maka disanalah aku telah bahagia.
Aku sekarang telah melangkah semakin jauh. Aku harus tetap berjalan menanjak dan mendaki bukit bukit terjal. Aku yakin ketika telah mencapai dipuncak aku akan berteriak “AKU BISA”. Ibu, dan Bapak ini anakmu kembali padamu. Anakmu sedang berlari diatas duri yang aku yakin jika aku telah sampai pada tujuannya nanti kalian tidak akan lagi merasa rugi telah membesarkanku dengan segala lelahmu. Ibu dan Bapak maafkan aku. Aku menyayangi kallian dalam keadaan apapun.
Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FBS Universitas Negeri Semarang.