Al Muhtada.org – Keimanan adalah fondasi utama bagi seorang Muslim dalam menjalani kehidupannya. Iman yang benar tidak hanya sebatas pengakuan lisan, tetapi juga harus melibatkan hati dan perbuatan nyata.
Seorang Muslim disebut beriman apabila telah memenuhi tiga aspek penting dari iman: pertama, pengakuan lisan tentang keesaan Allah dan pengakuan Muhammad sebagai Rasul Allah yang kita kenal dengan syahadatain. Kedua, iman harus tertanam dalam hati tanpa ada keraguan sedikit pun. Ketiga, pembuktian keimanan tersebut harus diwujudkan melalui amal perbuatan yang baik. Jika ketiga aspek ini terjalin erat dalam diri seseorang, barulah ia dapat disebut sebagai orang yang benar-benar beriman.
Namun, keimanan ini tidak hanya sebuah pengakuan formal, tetapi membawa konsekuensi yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah kesediaan untuk tunduk dan berserah diri secara penuh kepada Allah SWT, bukan hanya secara lisan tapi juga dalam perbuatan.
Kesediaan ini mengharuskan seorang Muslim untuk patuh terhadap segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan menjalankan kedua sikap ini, seorang Muslim akan merasakan kebebasan sejati, yaitu kebebasan dari ketergantungan kepada selain Allah.
Tauhid, atau keesaan Allah, adalah inti dari keimanan. Kalimat _la ilaha illallah_ menjadi simbol dari ketauhidan tersebut, yang berarti “tiada tuhan selain Allah”. Namun, tauhid tidak sekadar mengakui adanya Allah, tetapi juga mengandung negasi terhadap segala tuhan-tuhan palsu atau tempat bergantung lain yang tidak benar. Mengapa? Karena manusia cenderung menggantungkan hidupnya pada hal-hal selain Allah, seperti harta, kedudukan, dan kekuasaan.
Ada yang menjadikan uang sebagai tujuan hidup, ada pula yang hidupnya hanya berpusat pada mengejar status atau kekuasaan. Inilah yang menjadi “sesembahan” lain dalam hati yang harus dihilangkan.
Jika seseorang terlalu bergantung pada materi atau ambisi duniawi, ia bisa kehilangan orientasi spiritualnya. Ia mungkin akan siap melakukan apapun, termasuk hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, hanya demi memuaskan keinginan duniawinya. Inilah yang harus ditolak dalam diri setiap Muslim.
Belum dapat dikatakan seseorang itu benar-benar beriman atau bertauhid jika masih ada tempat bergantung lain dalam hatinya selain Allah, meskipun ia mengaku percaya kepada Allah SWT. Sikap semacam ini disebut syirik, yaitu mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Ini bisa berbentuk ketergantungan terhadap hal-hal duniawi yang seharusnya tidak menjadi pusat kehidupan.
Agar tauhid seseorang menjadi sempurna, ia harus mampu membersihkan hatinya dari segala bentuk tuhan-tuhan yang tidak layak disembah. Ketika seorang Muslim hanya tunduk kepada Allah yang Maha Esa, itulah kebenaran yang hakiki. Pada akhirnya, dengan iman yang benar, akan lahir tata nilai yang baik dalam kehidupan seorang Muslim.
Iman kepada Allah akan melahirkan tata nilai yang berdasarkan pada kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan kalimat, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, yang artinya “Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.”
Oleh karena itu, keimanan bukanlah sesuatu yang bisa setengah-setengah. Seorang Muslim harus selalu berusaha menjaga ketauhidannya dengan memurnikan hati dari segala ketergantungan duniawi.
Dengan demikian, iman yang benar akan membimbing hidupnya menuju kebebasan hakiki serta bebas dari pengaruh dunia dan hanya bergantung kepada Allah SWT semata. Iman inilah yang menjadi kunci dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan terarah. [] Sholihul Abidin