Almuhtada.org – Sebagai makhluk sosial, tentu kita memerlukan bantuan dari orang lain. Utang menjadi salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan kehidupan, jika kita tidak mampu untuk memiliki atau membeli sesuatu. Seseorang yang diutangi disebut muqrid dan seseorang yang berutang disebut murtarid.
Utang dalam istilah fiqh disebut dengan istilah akad irfaq atau bentuk transaksi yang didasari dengan rasa belas kasih. Utang juga merupakan salah satu kewajiban, karena termasuk haqqul adami (tanggung jawab kepada sesama manusia). Maka dari itu, seorang murtaqid harus membayar utang kepada muqrid.
Dalam utang piutang tentu ada tagih menagih dan bayar membayar. Perlu ada aturan yang harus diperhatikan oleh murtaridl dan muqridl.
Seorang muqridl memang memiliki hak dan kewajiban untuk menagih. Namun, tidak menagih dengan sekenanya, ada aturan yang harus diperhatikan dengan baik, karena hal ini menyangkut masalah ekonomi dari pihak yang ditagih.
Aturan utama yang harus diperhatikan oleh seorang muqrid ketika menagih utang yakni melihat keadaan keuangan muqtarid, jika seorang muqtarid sedang tidak mampu untuk membayarnya, maka seorang muqrid harus menunggu dengan sabar sampai muqtarid mampu untuk membayar.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an;
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إلى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 280).
Aturan utang pitang juga dijelaskan dalam kitab Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah;
آثار الاستدانة – حق المطالبة ، وحق الاستيفاء: وندب الإحسان في المطالبة ، ووجوب إنظار المدين المعسر إلى حين الميسرة بالاتفاق
“Dampak-dampak dari adanya utang adalah adanya hak menagih utang dan hak membayar utang. Dan disunnahkan bersikap baik dalam menagih utang serta wajib menunggu orang yang dalam keadaan tidak mampu membayar sampai ketika ia mampu membayar utangnya, menurut kesepakatan para ulama,” (Dilansir dari nu online- Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 3, hal. 268).
Sebagai orang yang berutang pun harus tau diri, jangan sampai ia sengaja tidak membayar utang. Gus Yusuf, pengasuh Pesantren Asrama Pelajar Islam Tegalrejo Magelang berpendapat bahwa seorang muqidl ketika ditagih untuk bayar jangan marah, karena apa yang diutangi itu bukanlah miliknya, sudah menjadi hak seorang muqtaridl untuk mengambilnya. [] Nayla Syarifa
Editor: Mohammad Rizal ARdiansyah