almuhtada.org – Membaca Al-Qur’an bukan hanya sebuah ibadah yang penuh pahala, tetapi juga memiliki dampak yang sangat besar bagi kesehatan jiwa dan raga. Sejak dahulu para ulama telah menekankan betapa pentingnya menjadikan Al-Qur’an sebagai teman hidup, bukan hanya dibaca ketika ada kebutuhan atau acara tertentu saja.
Salah satu hikmah yang jarang disadari adalah bahwa membaca Al-Qur’an dapat menjadi benteng bagi seseorang dari kepikunan dan kekacauan pikiran di usia lanjut. Hal ini ditegaskan dalam kitab Faidhul Mu‘īn ‘alā Jam‘il Arba‘īn fī Faḍlil Qur’ān al-Mubīn pada hadits ke-23. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Barangsiapa membaca Al-Qur’an, maka ia tidak akan dikembalikan kepada usia yang paling lemah (pikun).”
Hadits ini sejalan dengan firman Allah dalam surah At-Tin ayat 5-6:
…. ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman….”
Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat ini dengan kalimat: “Kecuali orang-orang yang membaca Al-Qur’an.” Penafsiran tersebut memberi pesan mendalam bahwa keistiqamahan dalam membaca Al-Qur’an adalah sarana untuk menjaga kualitas pikiran dan daya ingat, bahkan hingga usia lanjut. Hadits ini pun dinilai shahih oleh para ulama, seperti Al-Hakim dan Al-Albani.
Ash-Shan‘ani dalam kitab Subulus-Salam menjelaskan bahwa yang dimaksud “dikembalikan kepada usia yang paling lemah” atau ardzalil ‘umr adalah ketika seseorang mencapai masa pikun dan akalnya menjadi kacau. Pada fase ini, manusia kembali seperti keadaan masa kecil yakni lemah fisik, lemah akal, dan sedikit pemahamannya. Namun, mereka yang istiqamah membaca Al-Qur’an akan mendapatkan perlindungan dari kondisi tersebut.
Fenomena ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang kita menjumpai orang-orang tua yang meskipun usianya sudah lanjut, tetapi tetap segar bugar dalam ingatan dan pemikiran.
Jika ditelusuri, banyak di antara mereka yang memiliki kebiasaan kuat dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an. Lidah mereka senantiasa tak pernah terhenti dalam mengucap ayat-ayat Allah, sehingga otak dan hati mereka terus dilatih untuk fokus, mengingat, dan merenungkan.
Seperti kisah para ulama menjadi bukti nyata, banyak dari mereka yang tetap kuat daya ingatnya meskipun berusia sangat lanjut. Imam Syafi’i, misalnya, dikenal memiliki hafalan luar biasa bahkan hingga usia tuanya.
Hal serupa juga tampak pada ulama-ulama penghafal Al-Qur’an yang hingga akhir hayatnya tetap mampu membaca dengan lancar. Hal ini tentu menjadi motivasi bagi kita untuk memperbanyak interaksi dengan Al-Qur’an, bukan sekadar membacanya sesekali.
Aktivitas membaca dengan suara yang jelas, mengulang-ulang bacaan, dan melibatkan konsentrasi penuh merupakan latihan yang menstimulasi otak. Setiap huruf Al-Qur’an yang dilafalkan menuntut perhatian terhadap makhraj, panjang pendek, dan tajwidnya.
Proses ini, tanpa disadari, melatih memori otak, memperkuat daya konsentrasi, serta menjaga kesehatan mental. Inilah yang menjadikan Al-Qur’an bukan hanya sumber hidayah, tetapi juga terapi pikiran.
Selain itu, membaca Al-Qur’an bukan hanya sekadar melafalkan ayat, tetapi juga mencakup tadabbur, memahami makna, dan mengamalkan isi kandungannya. Ketika seseorang menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan hidup, maka pikirannya akan selalu terarah pada kebaikan.
Inilah yang menjadikan hatinya tenang dan pikirannya jernih, jauh dari kekacauan serta kebingungan. [] Aisyatul Latifah