almuhtada.org – Istilah “indigo” cukup populer di kalangan masyarakat saat ini. Biasanya merujuk pada seseorang, yang dianggap memiliki kemampuan khusus. Beberapa mengaku bisa melihat makhluk halus, memiliki intuisi yang sangat tajam, atau merasa berbeda sejak kecil. Tidak sedikit pula yang mengaitkan indigo dengan kemampuan membaca pikiran, merasakan energi, atau menebak kejadian sebelum terjadi.
Fenomena ini menimbulkan dua reaksi. Di satu sisi dianggap sebagai keistimewaan atau kelebihan, di sisi lain dipertanyakan secara agama, khususnya dalam pandangan Islam. Pertanyaannya adalah, bagaimana sebenarnya Islam memandang hal-hal seperti ini?
Apa itu Indigo?
Istilah “indigo” sendiri tidak dikenal dalam literatur keislaman klasik. Ini merupakan konsep dari teori spiritual barat yang berkembang pada abad ke-20. Namun, jika kita berbicara tentang kepekaan yang tidak biasa atau kemampuan yang sulit dijelaskan, maka Islam sudah lama mengenal istilah seperti ilham, firasat, atau bahkan Karamah. Bedanya, dalam Islam, semua itu tidak serta-merta dianggap istimewa atau boleh dibanggakan. Justru, kelebihan semacam itu merupakan amanah dan ujian.
Bagaimana Pandangan Islam?
Islam memiliki pandangan yang sangat hati-hati terhadap urusan yang bersinggungan dengan hal gaib. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah. Jadi, ketika seseorang mengklaim bisa mengetahui hal-hal di luar jangkauan manusia biasa, maka hal tersebut perlu ditanggapi secara kritis dan tidak langsung dibenarkan.
Nabi Muhammad SAW juga memberikan peringatan keras kepada umatnya agar menjauhi segala bentuk praktik yang berhubungan dengan ramalan, perdukunan, atau klaim mengetahui masa depan. Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa siapa pun yang datang kepada peramal dan membenarkan ucapannya, maka dia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Bagaimana Sikap Kita?
Lalu, bagaimana jika seseorang memang merasa lebih sensitif atau peka terhadap sesuatu? Dalam Islam, kepekaan seperti itu tidak otomatis salah. Bisa jadi itu adalah bagian dari fitrah, seperti memiliki empati tinggi atau naluri yang kuat. Tapi semua itu perlu diarahkan dan dijaga agar tidak menjerumuskan seseorang pada perasaan lebih tahu dari yang lain atau bahkan membuka praktik-praktik yang dilarang dalam agama.
Hal yang penting adalah bagaimana seseorang menyikapi “kemampuan” tersebut. Apakah membuatnya semakin dekat dengan Allah, atau justru menjauh? Apakah digunakan untuk kebaikan, atau malah menjadi jalan bagi kesombongan spiritual?
Islam mengajarkan bahwa segala kelebihan yang diberikan kepada manusia adalah amanah. Maka jika ada seseorang yang merasa dirinya berbeda atau lebih peka, Islam menyarankan untuk memperbanyak ibadah, menjaga diri dari riya dan takabur, serta senantiasa meminta petunjuk kepada Allah. Jangan sampai kepekaan yang dianggap istimewa itu justru menjadi pintu syirik, yakni mempercayai sesuatu selain Allah sebagai sumber kebenaran.
Indigo bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi juga bukan untuk dibanggakan. Jika itu nyata, maka ia harus diperlakukan dengan kehati-hatian. Jika hanya sugesti, maka perlu dikaji secara psikologis dan ilmiah. Yang jelas, dalam Islam, keimanan, amal, dan akhlak jauh lebih penting daripada kemampuan melihat yang tak terlihat. [Deya Sofia]