Almutada.org- Nama Umar bin Khattab RA telah terukir dengan tinta keberanian dan keagungan dalam sejarah Islam. Ia adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling disegani, Umar dikenal dengan julukan Asadullah, Singa Allah, Umar adalah sosok yang ditakuti bangsa Arab karena ketegasannya, keberaniannya, serta kecerdasannya dalam strategi perang. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Jika Umar berjalan di suatu jalan, maka setan pun akan berbalik mencari jalan lain,” karena takut akan keimanan dan keteguhannya.
Namun, di balik sosoknya yang keras dan tangguh, Umar juga memiliki sisi jenaka yang jarang diketahui orang. Suatu hari, setelah ia memeluk Islam dan menjadi bagian dari lingkaran sahabat yang mulia, Rasulullah SAW duduk santai bersama para sahabat. Dalam suasana yang hangat dan penuh keakraban itu, Rasulullah tiba-tiba berkata dengan senyuman yang menghias wajah sucinya, “Siapa di antara kalian yang bisa membuatku tertawa?”
Para sahabat terdiam. Tak satu pun yang langsung menyahut. Mereka seolah tak ingin melontarkan gurauan sembarangan di hadapan manusia pilihan Allah. Lalu, di tengah keheningan itu, Umar mengangkat tangannya. Wajahnya tetap serius seperti biasa, tapi matanya menyimpan gelombang tawa yang belum pecah.
“Aku bisa, ya Rasulullah,” ucapnya penuh keyakinan.
Rasulullah pun tersenyum, “Apa yang ingin kau ceritakan, wahai Umar? Apakah benar bisa membuatku tertawa?”
“In syaa Allah, ya Rasul. Bahkan sampai hari ini, jika aku mengingat kisah itu, aku masih tertawa sendirian karena kebodohanku di masa lalu,” jawab Umar, lalu mulai bercerita.
Pada masa jahiliyah, sebelum Islam menyinari jazirah Arab, kebodohan menyelimuti banyak hati. Termasuk dirinya. Ketika hendak berpergian menurut kepercayaan lamanya, setiap orang diharuskan membawa sesembahan entah batu, patung, atau sesuatu yang dianggap suci ntuk dipersembahkan kepada “tuhan” mereka. Begitu pula Umar.
Namun saat itu, ia lupa membawa apapun. Ia panik, merasa tak layak mengikuti bepergian tanpa membawa sesembahan. Ia mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan sesembahan untuk “tuhan”, tapi tak ada selain tumpukan kurma yang dibawanya sebagai bekal perjalanan.
Lalu, timbullah ide jenaka,ia bentuk tumpukan kurma itu menjadi sesembahan kecil, berhala mungil dari buah manis yang kenyal. Umar mempersembahkan “tuhannya” itu dengan khusyuk.
Namun perjalanan panjang membuat perut lapar. Bekal menipis, dan satu-satunya hal yang tersisa adalah… “tuhannya” sendiri. Maka, satu per satu kurma itu dimakannya. Tanpa sadar, berhala rakitannya pun habis dilahap.
Seketika itu juga, seisi majelis meledak dalam tawa. Rasulullah SAW tertawa, para sahabat tertawa. Tawa itu bukan sekadar karena kisah lucu, tapi karena betapa dalamnya makna di baliknya betapa gelapnya zaman sebelum cahaya Islam datang. Seorang Umar, yang kini adalah tiang keadilan Islam, pernah menyembah sesuatu yang bisa dimakan. Ia sendiri yang menciptakan “tuhannya”, dan ia pula yang mengunyahnya ketika lapar.
Namun itulah bukti betapa Islam telah mengangkat derajat manusia. Dari penyembah benda tak bernyawa, menjadi pembela kebenaran dan keadilan sejati. Umar tidak malu mengisahkan kebodohan masa lalunya, sebab dari sanalah kita tahu betapa Islam telah mengubah segalanya dan bahwa tawa pun kadang bisa menjadi pintu menuju hikmah.[]Juliana Setefani Usaini