almuhtada.org – Baru-baru ini, warga net dibuat heboh oleh sebuah video viral dari salah satu SMK di Purwokerto yang menggelar upacara pelepasan siswa kelas 12 tapi bukan sembarang upacara. Acara itu dikemas megah, lengkap dengan sidang senat terbuka, pemakaian toga, kalung jabatan, dan berbagai ornamen wisuda ala perguruan tinggi. Netizen pun terpecah: ada yang mendukung karena dianggap keren dan membanggakan, tapi ada juga yang mengkritik karena dianggap “ikut-ikutan” tanpa esensi.
Pertanyaannya: Emang boleh ya SMK bikin wisuda ala kampus?
Secara aturan, ya nggak ada yang melarang. Tapi secara simbolik? Ini yang menarik untuk dikulik.
Ketika Simbol Bukan Sekadar Simbol
Toga dan atribut wisuda perguruan tinggi sejatinya bukan sekadar baju dan kalung. Itu simbol visual yang punya makna kultural dan historis panjang. Ia menjadi penanda identitas bahwa seseorang telah melewati tahapan intelektual yang rumit dan spesifik. Simbol ini lahir dan berkembang di lingkungan akademik, bukan sekadar jadi properti estetik.
Namun di sinilah menariknya. Dalam budaya populer, simbol bisa mengalami pergeseran makna. Apa yang dulu sakral bisa jadi dekoratif. Apa yang dulu eksklusif bisa menjadi aspiratif. Termasuk dalam kasus SMK ini.
Mimikri Kelas dan Si Borjuis Kecil
Fenomena ini bisa kita pahami lewat kacamata kelas sosial. Dalam pembagian sosiologis, ada kelas proletar (kelas pekerja), kelas borjuis (kelas atas), dan… kelas di antaranya: petit bourgeoisie alias borjuis kecil.
Nah, kelas menengah ini punya posisi yang serba nanggung. Secara ekonomi nggak semapan kelas atas, tapi juga nggak merasa cocok disamakan dengan kelas bawah. Maka muncullah keinginan untuk meniru gaya hidup kelas atas entah lewat cara berpakaian, gaya liburan, sampai urusan seremoni seperti wisuda.
Kegiatan seperti “wisuda SMK rasa kampus” ini jadi semacam usaha untuk memproduksi identitas simbolik. Nggak cukup hanya lulus, harus kelihatan lulus dengan megah. Ada motivasi untuk “dianggap” sukses, intelek, dan bermartabat persis seperti mereka yang lulus S1. Ini yang disebut mimikri budaya.
Disposisi Simbolik dan Budaya Populer
Kalau ditarik lebih jauh, fenomena ini nggak beda jauh dengan kebiasaan unggah foto di kafe mahal, staycation di hotel bintang lima, atau beli kopi Rp50 ribuan. Ada disposisi simbolik yang mendorong individu untuk menampilkan citra tertentu demi pengakuan sosial. Karena dalam budaya populer, simbol bisa “dibeli” meski maknanya belum tentu dihayati.
Jadi, apakah wisuda SMK dengan toga itu salah? Ya, nggak juga. Ini cuma salah satu bentuk kreativitas budaya dari kelas sosial yang sedang mencari identitasnya. Selama tujuannya merayakan pencapaian dan memberi kebanggaan kepada siswa dan keluarga, sah-sah saja. Toh, nilai simbolik nggak tergantung pada bentuk luarnya, tapi pada bagaimana kita memaknainya.
Penutup: Tafsir Lebih Penting dari Toga
Akhir kata, mari kita lihat fenomena ini dengan kepala dingin. Mau pakai toga atau nggak, yang penting adalah semangat untuk terus belajar, bekerja, dan berkembang. Kalau kamu lulusan SMK dan merasa bangga bisa berdiri di panggung pakai toga, ya, itu sah. Tapi jangan lupa, lebih penting dari lulus dengan gaya adalah lulus dengan bekal.
Selamat wisuda, para pejuang SMK! Toga boleh sama, tapi jalanmu ke masa depan tetap istimewa.
[Raffi Wizdaan Albari]
Sumber Referensi: instagram.com/rahmat.petuguran
Editor: Syukron Ma’mun