almuhtada.org Hidup ini perihal ikhlas. Ikhlas pada setiap ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Ilahi Rabbi. Baik ikhlas akan hal baik yang telah terjadi, ataupun atas hal baik yang seringkali salah arti lantaran tak sesuai dengan isi hati. Dan, pandai bersyukur adalah satu-satu nya cara untuk kembali pada dalamnya ikhlas atas apa-apa yang terjadi.
Dalam sebuah kehidupan sering kali manusia mendapati sebuah ujian. Baik kekecewaan, ketidakadilan, kemiskinan, dan bahkan kekayaan pun termasuk sebuah ujian. Seorang yang memiliki harta berlimpah bisa saja menjadi sombong, angkuh, pelit, sehingga menjauh dari ridha Allah.
Adapun seorang yang kecewa dan lain sebagainya, terkadang lupa jikalau kekecewaan tersebut adalah bagian dari sebuah perjuangan dalam kehidupan. Anggapan kita yang selalu ingin akan suatu hal dan tak pernah merasa puas, tentu akan memudahkan kita menjauh dari ridha Allah ketika Allah berkehendak lain. Dengan artian kita kurang bersyukur atau menerima akan hal atau ketetapan Allah tersebut.
Memang, kecewa itu boleh saja, sedih pun juga boleh karena rasa tersebut wajar dimiliki manusia. Namun, hal tersebut sangatlah tidak boleh dilakukan ketika berlarut-larut, apalagi jika sampai menyerah dan menyalahkan sebuah takdir.
Umat Islam yang baik adalah ia yang mampu mengendalikan dirinya. Mengendalikan dari apa-apa yang membuat dirinya jauh dari Allah Subhanahu Wataala. Ikhlas dalam menerima apa pun ketika belum mendapatkan akan suatu hal meskipun sudah bersusah payah mengupayakannya, hingga ikhlas dalam menerima bahwa agama Islam adalah agamanya.
Allah Subhanahu wataala berbicara tentang Ikhlas akan Islam sebagai agama umat muslim dalam Al-Quran Surat Ghafir ayat 14 dan 65 yang berbunyi;
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Fad’ullāha mukhliṣīna lahud-dīna walau karihal-kāfirụn.”
Yang artinya: “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS Ghafir: 14)
هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Huwal-ḥayyu lā ilāha illā huwa fad’ụhu mukhliṣīna lahud-dīn, al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn.”
Yang artinya: “Dialah yang Maha Hidup, tidak ada tuhan selain Dia. Maka sembahlah Dia dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Ghafir: 65)
Dimana ayat tersebut menjelaskan meskipun orang-orang kafir tidak menyukai dan bahkan menentang akan addinul haq, namun kita harus tetap bisa berdiri kokoh dalam menegakkan agama kita.
Adapun kalam Allah yang menerangkan bahwa ikhlasnya seorang hamba yang menjalankan ibadahnya, maka akan dikembalikan sebagai mana semula diciptakannya.
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
“Qul amara rabbī bil-qisṭ, wa aqīmụ wujụhakum ‘inda kulli masjidiw wad’ụhu mukhliṣīna lahud-dīn, kamā bada`akum ta’ụdụn.”
Yang artinya:
“Katakanlah, Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil. Dan hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.” (QS Al-A’raf: 29)
Tidak ada yang bisa mematahkan seseorang yang menemukan keindahan pada sebauah keihklasannya, bahkan dalam kedamaian akan diriannya. So, nikmatilah kekecewaan-kekecewaan yang ada, karena mungkin Allah juga menyisipkan makna ikhlas disana. Jadikan kekecewaan sebagai momen berharga untuk kembali mengenal diri kita lebih dalam, menyembuhkan luka, dan bertumbuh untuk menggapai versi terbaik dari diri kita. Wallahu ’a’lam bissawab, semoga bermanfaat. [] Rosi Daruniah