almuhtada.org – Dalam kehidupan beragama yang semakin kompleks dan penuh dinamika dewasa ini, konsep tasamuh atau toleransi dalam Islam menjadi semakin relevan dan mendesak untuk terus digaungkan.
Tasamuh bukanlah semata sikap pasif atau kompromi yang lemah, melainkan sebuah ekspresi aktif dari kematangan iman dan pemahaman akan hakikat Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Islam sejak awal hadir tidak hanya sebagai sistem keimanan personal, tetapi juga sebagai pedoman sosial yang menekankan keadilan, kasih sayang, dan perdamaian. Dalam konteks inilah tasamuh memainkan peran penting. Ia menjadi ruh dari interaksi sosial yang sehat dan damai.
Nilai-nilai dalam tasamuh sendiri selaras dengan karakter gerakan Islam moderat yang mengedepankan rasionalitas, inklusivitas, dan keterbukaan terhadap keberagaman. Sikap ini menjadi fondasi penting dalam menciptakan kehidupan sosial yang harmonis.
Penerapan tasamuh dalam masyarakat tidak lepas dari penghormatan terhadap kebebasan beragama, pengakuan terhadap pluralitas, serta penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ini bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan nyata dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia.
Dalam masyarakat yang majemuk, gesekan dan perbedaan adalah keniscayaan. Namun, tasamuh menawarkan jembatan yang mempertemukan perbedaan itu dalam ruang dialog yang sehat, bukan konflik yang memecah-belah.
Jika kita telusuri sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW sendiri telah mencontohkan sikap tasamuh dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau menjalin hubungan baik dengan non-Muslim, menghormati perjanjian, dan tidak memaksakan agama kepada siapa pun. Salah satu contoh paling masyhur adalah Piagam Madinah, yang merupakan bentuk nyata dari penghormatan terhadap keberagaman dalam satu masyarakat yang heterogen.
Dalam konteks kekinian, tasamuh harus dijadikan arus utama dalam cara beragama dan bermasyarakat. Ia tidak hanya menjadi sikap pribadi, tetapi juga harus menjadi landasan dalam kebijakan publik, pendidikan, hingga ruang digital yang kini menjadi tempat interaksi sosial baru. Tanpa tasamuh, ruang publik akan mudah dipenuhi dengan ujaran kebencian, eksklusivisme, dan sikap saling meniadakan.
Mengarusutamakan tasamuh berarti menghadirkan Islam yang ramah, bukan marah. Islam yang mampu hidup berdampingan, bukan yang merasa terancam oleh perbedaan. Inilah wajah Islam yang sesungguhnya di mana Islam yang menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya bagi kelompok tertentu.
Pada akhirnya, memperkuat nilai-nilai tasamuh bukan hanya upaya mempertahankan harmoni sosial, tetapi juga bentuk nyata dari implementasi ajaran Islam secara utuh. Ini adalah panggilan zaman bagi setiap Muslim untuk menjadi agen perdamaian, bukan provokator kebencian. Karena sejatinya, Islam datang untuk membebaskan, menyatukan, dan menyejahterakan seluruh umat manusia serta bukan untuk memecah dan menguasai. [SHOLIHUL ABIDIN]
Editor: Syukron Ma’mun