almuhtada.org – Korupsi di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi masalah yang terus menghantui institusi penegak hukum tersebut. Dari suap dalam penanganan perkara, penggelapan anggaran, hingga keterlibatan dalam kasus besar seperti suap Djoko Tjandra dan dugaan penyelewengan dana pengadaan alat keamanan, berbagai skandal ini mencoreng citra kepolisian sebagai penjaga ketertiban dan keadilan.
Berdasarkan laporan dari berbagai lembaga pemantau korupsi, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota kepolisian terus meningkat. Sayangnya, belum ada data resmi yang secara spesifik mengungkap jumlah kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh kepolisian selama tahun 2023 dan 2024. Namun, berdasarkan laporan ICW, sepanjang tahun 2023 tercatat 791 kasus korupsi dengan 1.695 tersangka dari berbagai instansi di Indonesia, termasuk kepolisian.
Beberapa kasus besar yang melibatkan anggota kepolisian antara lain:
- Kasus Djoko Tjandra (2020) – Dua jenderal polisi, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetyo Utomo, terbukti menerima suap dalam penghapusan red notice buronan Djoko Tjandra.
- Kasus Dana Operasional (2023) – Dugaan penyalahgunaan dana operasional di beberapa Polda, di mana anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan operasional justru diselewengkan oleh oknum pejabat kepolisian.
- Kasus Suap dalam Penyidikan (2024) – Sejumlah penyidik di kepolisian diduga menerima suap dalam mengatur hasil penyelidikan kasus hukum tertentu agar menguntungkan pihak tertentu.
Korupsi dalam kepolisian bukan hanya mencederai hukum dan kepercayaan publik, tetapi juga berdampak luas pada sistem peradilan pidana. Masyarakat yang seharusnya mendapatkan perlindungan justru menjadi korban praktik korupsi seperti pungutan liar, kriminalisasi, dan ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Selain itu, korupsi dalam kepolisian juga melemahkan penindakan terhadap kejahatan lainnya, karena memungkinkan pelaku kejahatan untuk “membeli” kebebasan mereka. Hal ini berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum.
Akhir-akhir ini, band Sukatani merilis lagu “Bayar, Bayar, Bayar” yang ditujukan sebagai kritik terhadap aparat kepolisian. Dalam bait lagu tersebut berbunyi:
Mau bikin SIM, bayar polisi
Ketilang di jalan, bayar polis
i Touring motor gede, bayar polisi
Angkot mau ngetem, bayar polisi
Aduh, aduh, ku tak punya uang Untuk bisa bayar polisi.
Lagu ini merupakan bentuk kritik terhadap tingginya kasus korupsi di instansi kepolisian. Namun, setelah lagu tersebut viral, band Sukatani yang biasanya tampil menggunakan topeng muncul secara tiba-tiba dalam sebuah video permohonan klarifikasi. Mereka menyampaikan permohonan maaf kepada Kapolri dan instansi pemerintahan atas lagu tersebut serta mengumumkan penarikan lagu dari peredaran.
Tindakan permintaan maaf dan penarikan lagu ini memicu reaksi publik yang luas. Banyak yang menilai bahwa langkah tersebut mencerminkan kurangnya kesiapan institusi kepolisian dalam menerima kritik publik. Pakar dari Universitas Gadjah Mada menilai bahwa tindakan ini dapat dianggap sebagai pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Namun, dalam beberapa kasus, sanksi yang diberikan mungkin hanya berupa mutasi atau pemindahan tugas, tanpa adanya sanksi yang lebih berat. Hal ini menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa sanksi bagi polisi yang korupsi cenderung ringan. Hal tersebut setidaknya didasarkan pada 2 alasan yakni persoalan struktural dan kultural.
Persoalan struktural ini sering kali terjadi sebab provos atau inspektorat polisi menjadi tidak berkutik Ketika berhadapan dengan polisi yang berpangkat lebih tinggi, atau provos pemeriksa berpangkat lebih rendah dari polisi yang diperiksanya Persoalan kultural yakni adanya lenggangan di kalangan Polri untuk memeriksa rekan seprofesi.
Maka, untuk membersihkan korupsi di kepolisian, setidaknya ada dua hal yang dibutuhkan, pertama, pemimpin Polri yang memiliki kemauan kuat dan bertekad serius dalam memberantas kasus korupsi. Kedua, dibutuhkan sebuah Lembaga independen di luar kepolisian yang diberikan kewenangan dalam membersihkan kasus korupsi di tubuh kepolisian. Berkaca dari negara tetangga yakni Hongkong yang memiliki sebuah Lembaga independen Bernama ‘’ komisi pemberantasan korupsi (ICAC) yang telah berhasil menyeret banyak mantan pejabat kepolisian yang melakukan korupsi.
Korupsi yang merajalela di tubuh kepolisian adalah ancaman serius bagi negara hukum dan demokrasi. Tanpa adanya reformasi yang menyeluruh dan penegakan hukum yang tegas, kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian akan terus merosot. Kasus penarikan lagu kritik oleh band Sukatani juga memperlihatkan bagaimana kritik terhadap kepolisian masih dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, pemerintah dan berbagai pihak terkait harus segera mengambil langkah konkret untuk membersihkan institusi kepolisian dari praktik korupsi dan memastikan bahwa mereka benar-benar menjadi penegak hukum yang adil dan profesional. [Juliana Setafani Usaini]
Editor: Syukron Ma’mun