Sisi Environmental Islam: Alam sebagai Berkah yang Harus Dijaga dalam Momentum Bulan Penuh Berkah

ilustrasi manusia dengan alamnya (pinterest.com-almuhtada.org)

almuhtada.org – Alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah; sebagai muslim kita diperintah untuk mengamati sekeliling kita sehingga dirasa oleh kita keberadaan-Nya yang nyata. Bahwa angin yang berhembus ke timur atau ke barat tidak serta merta hanya melintas, melainkan membawa satu musim ke suatu wilayah sehingga siklus kehidupan terus berlanjut.

Tentang bagaimana bumi dan seisinya merupakan variasi entitas yang berbeda-beda tapi dari kesemuannya itulah satu kesatuan terjalin sehingga sesuai, bahkan keberadaan kutu sekalipun: ia ada pada kerbau pun pada kita manusia, ketika berada pada kerbau yang malas ialah yang menjadikan hubungan antara kerbau dan burung jalak terjalin saling memberikan manfaat, sedang selama ia berada pada rambut manusia merupakan pengingat boleh juga dibilang pengganggu sehingga orang merasa perlu membersihkan diri dengan baik sebagaimana manusia adalah makhluk yang adaptif–bisa saja mereka menjadi tahan dengan bau badan sendiri.

Baca Juga:  Bercanda dengan Teman di Alam Terbuka Terbukti Efektif Mengurangi Stres

Setelah dalam keadaan tahu atas berkah seluas jagat raya itu dan paham setiap darinya memiliki peran, manusia tentu sadar akan keberadaannya di bumi yang semestinya juga ditanggungkan suatu peran. Kita diperintah untuk mengamati, maka kita adalah pengamat.

Kemudian ketika itu terbentuk kesadaran yang mana pasti melibatkan proses berpikir, dan dari kelebihan satu inilah kita, sebagaimana tersuratkan dalam Al-quran, dinobatkan sebagai khalifah; pemimpin, penjaga, dan pengelola bumi. Sebagai makhluk yang paling bisa bertindak, kita diperintahkan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan.

Sayangnya, mungkin ada benarnya teori yang mengatakan sesuatu yang mempunyai kekuasaan membuat pemegangnya cenderung korup–bersifat merusak. Kita lihat sekeliling sampah selalu ada di sisi jalanan, sungai, dan udara sekalipun. Kesegaran menjadi hal yang tidak bisa dinikmati seluruh. Ketika mendatangi hutan, ia tak sepenuhnya hijau; entah itu kurang pohonnya atau hilang satwanya. Ada yang seharusnya ada di alam kita tetapi sirna, lantas siapa yang akan menggantikan peran mereka? Keseimbangan pun goyah.

Baca Juga:  Shalat Tarawih Sendirian, Apakah Boleh?

Ketika kutu rambut punah misalnya; manusia-manusia tidak tahu diri melenggang dengan aroma khas ketika angin hanya melintasi mereka, dan kumpulan orang tidak lagi sering terbentuk karena satu sama lain kebauan–dan kesegaran pun punah. Tentu yang satu ini boleh jadi dilebih-lebihkan, tapi pada dasarnya keabsenan dari satu yang bahkan sekecil debu memang memiki efek domino yang berturut.

Mengenai itu, islam menyikapinya dengan memosisikan alam sebagi berkah sehingga dari situ terbentuk suatu tanggung jawab bagi manusia terhadap bumi yang disinggahi. Adapun dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 41 bahwasanya Allah memertampakan kerusakan yang disebabkan oleh manusia supaya mereka sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Baca Juga:  Inilah Ciri-Ciri Manusia Terbaik Menurut Rasulullah SAW

Berhubung tulisan ini dirangkai ketika Ramadan maka darinya penulis menyangkut pautkannya dalam konteks Ramadan sebagai bulan penuh berkah. Alam sendiri merupakan berkah, selagi dalam masa Ramadan yang Allah limpahkan keberkahannya tentu kita semakin gencar dalam usaha mempertahankannya, utamanya setelah kita tahu bahwa muslim diperintahkan menjaga keseimbangan yang ada di Bumi. Itu dalam konteks semangat beribadah, sehingga ketika bulan Ramadan intensitas ‘menjaga’ di angkat ke permukaan alam sadar lebih sering, hal ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengentengkan Alam pada bulan-bulan selain Ramadan.

Sekali lagi, manusia adalah makhluk yang paling bisa bertindak di muka bumi, maka dari itu bagaimana bumi ini pada akhirnya akan menjadi tergantung bagaimana manusianya yang mengesekusi. []Muhammad Irbad Syariyah

Editor:

Qoula Athoriq Qodi

Related Posts

Latest Post