Manusia adalah Makhluk Safar

Ilustrasi manusia yang sedang membaca denah suatu tempat (freepik.com - almuhtada.org)

Almuhtada.org – Manusia diciptakan bukan untuk menjadi makhluk yang diam. Manusia adalah makhluk hidup, makhluk yang bergerak baik secara lahir maupun batin. Ciri bergerak pada makhluk hidup adalah gerakan penentu siapa diri itu sebenarnya.

Seiring berjalannya waktu, manusia lebih sering tergesa-gesa dalam mencari pengakuan. Rasa ingin diakui, ingin dianggap penting, ingin dianggap berperan, ingin dipandang berhasil. Padahal kita sebagai manusia tidak sadar telah melewati batas untuk istirahat. “Sebenarnya, ke mana arah yang harus aku tuju?”

Hati manusia sangatlah mudah untuk terpaut dengan dunia. Dunia, seindah apa pun pesonanya, akan bertahan sebentar saja. Sebentar adalah menipu, hati yang terpaut dengan dunia akan sibuk mengejarnya.

Manusia akan sibuk memikirkan dunia, memperjuangkannya seakan ia layak untuk dimiliki selamanya.

Ibnu Qayyim pernah mengumpamakan manusia sebagai musafir yang sedang menempuh perjalanan panjang. Di tengah perjalanan, ia boleh singgah, beristirahat, dan memulihkan tenaga. Tapi ia tidak membangun rumah di pinggir jalan, karena ia tahu itu bukan tempat tujuannya.

Makna singkat dari pandangan para ulama ini sebenarnya sederhana. Dunia adalah persinggahan, bukan kampung halaman. Ad-dunyā mamarrun lā maqarr (dunia ini untuk dilalui, bukan untuk ditinggali selamanya). Kalimat yang terdengar ringan, namun jika direnungi, justru menjadi kunci untuk memahami hakikat kehidupan.

Kita hidup hanya sementara, dan tak ada satu pun yang kita miliki benar-benar menjadi milik kita. Hakikat perjalanan manusia di rute dunia adalah menjalani ujian. Menikmati setiap ujian yang disajikan khusus untuk kita.

Baca Juga:  Mari Menjaga Lisan, Demi Meraih Ridho Allah Swt

Setiap pertemuan akan bertemu dengan perpisahan. Setiap kesempatan akan menemukan rasa sempit, dan setiap jiwa sehat akan berjumpa dengan jiwa sakit.

Dunia itu semacam sekolah yang tidak pernah ada hari libur. Akan selalu ada hari-hari bahagia, ada juga hari-hari sulit. Semuanya tetap sama, bersifat “sementara”. Berbanding terbalik dengan rute perjalanan di akhirat.

Ia akan menuju pada suatu tempat yang kekal. Ia belumlah nampak begitu jelas, tetapi ia bisa lebih pasti walaupun tak nampak di kala ini. Setiap amal adalah pilihan, setiap pilihan dan sikap hati menjadi peran arah kompas.

Kompas akan menunjukkan di mana nanti kita akan tinggal selamanya. Jika dunia adalah waktu singgah maka akhirat adalah waktu sungguh. Benang merah yang dapat diambil adalah: tujuan manusia itu sudah jelas, kenapa harus diperumit.

Manusia tidak perlu lelah untuk mengejar validasi, harta, atau pencapaian yang akan hancur pada waktunya. Manusia boleh-boleh saja mengejar mimpi, tetapi tidak boleh lupa bahwa mimpi akan selesai jika perjalanannya turut selesai.

Pada akhirnya, manusia adalah makhluk safar, hanya lewat sebentar saja. Jangan membuat pola perjalanan hanya untuk cepat sampai tujuan. Tetapi pasanglah kompas untuk mendeteksi kebenaran langkah kita, karena rumah kita bukan di dunia, melainkan di tempat yang sedang kita tuju setelahnya. [] Lailia Lutfi Fathin

Baca Juga:  Menelisik Makna Tersirat dibalik Gemerlap Bintang Akan Kenikmatan Sementara Kehidupan di Dunia

Related Posts

Latest Post