almuhtada.org – Masjidil Haram merupakan tempat paling suci bagi umat Islam, menjadi pusat ibadah sekaligus tujuan utama jamaah Muslim dari seluruh dunia. Kesuciannya menjadikan setiap tindakan di dalamnya harus dijaga dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran. Namun, siapa sangka bahwa tempat suci ini pernah diserang serta dikuasai oleh kelompok ekstremis.
Kronologi
Pada 20 November 1979, bertepatan dengan waktu Subuh, jamaah dari berbagai negara berkumpul di Masjidil Haram untuk menunaikan salat. Di antara mereka, terdapat sekitar 200 orang anggota kelompok militan ekstremis bernama Al-Jamma Al-Salafiya Al-Muhtasiba (JSM) yang dipimpin oleh Juhayman Al-Otaybi, cucu dari salah satu pendiri Kerajaan Arab Saudi, Sultan bin Bajad Al-Otaybi.
Setelah salat selesai, Juhayman dan para pengikutnya merebut mikrofon serta mengeluarkan senjata yang sebelumnya telah disembunyikan di dalam masjid. Tujuan mereka adalah untuk mengumumkan kepada umat Islam bahwa Imam Mahdi, sosok yang dipercaya akan membawa kedamaian menjelang akhir zaman, telah muncul untuk memimpin dunia dengan keadilan dan membersihkan Masjidil Haram dari praktik yang mereka anggap sebagai bidah.
Selain menyiarkan kedatangan Imam Mahdi, kelompok ini juga menyandera para jamaah dengan menutup seluruh pintu Masjidil Haram. Banyak jamaah, terutama yang tidak berbahasa Arab, menjadi panik dan tidak memahami situasi yang terjadi. Dalam waktu singkat, Masjidil Haram pun sepenuhnya berada di bawah kendali kelompok pemberontak tersebut.
Pemerintah Arab Saudi berupaya menanggapi situasi itu, namun pasukan yang dikirim justru mendapat serangan balik. Pertempuran sengit terjadi selama enam hari berturut-turut, hingga para pemberontak terdesak di lorong-lorong bawah tanah. Dalam pertempuran tersebut, Al-Qahtani, yang diyakini sebagai Imam Mahdi, tewas tertembak.
Meski begitu, ribuan jamaah masih disandera, dan pemerintah kesulitan menembus area dalam masjid. Akhirnya, Arab Saudi meminta bantuan kepada Prancis. Permintaan ini menimbulkan dilema karena hukum Islam melarang orang non-Muslim memasuki wilayah Mekkah. Sebagai solusi, tim GIGN (Unit Kontra-Teror Prancis) ditempatkan di Kota Taif, bukan di Mekkah.
Melalui operasi rahasia untuk menghindari kecaman internasional, tim Prancis dan Arab Saudi menyusun strategi dengan mengisi ruang bawah tanah tempat para pemberontak bersembunyi menggunakan gas air mata. Proses persiapan memakan waktu sekitar dua minggu untuk melubangi area dan meluncurkan granat gas tersebut.
Rencana itu akhirnya berhasil. Para pemberontak menyerah, dan 63 orang, termasuk Juhayman, dieksekusi di delapan kota berbeda di Arab Saudi.
Latar Belakang
Juhayman Al-Otaybi merupakan pendakwah dari kalangan Badui yang dikenal sangat konservatif. Ia menentang segala bentuk pengaruh Barat, termasuk penemuan modern seperti televisi dan kebiasaan sosial yang menurutnya bertentangan dengan syariat Islam, misalnya perempuan mengendarai mobil.
Perubahan sosial dan modernisasi di Arab Saudi membuatnya marah. Ia sering menyebarkan pamflet yang mengkritik keluarga Al-Saud karena dianggap telah menjauh dari nilai-nilai agama. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Muhammad bin Abdullah Al-Qahtani, yang diyakininya sebagai Imam Mahdi berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
Awalnya, Al-Qahtani menolak klaim tersebut, tetapi akhirnya menerima peran sebagai Imam Mahdi. Kedekatan keduanya semakin kuat, bahkan Juhayman menikahi saudari perempuan Al-Qahtani. Hubungan tersebut menjadi dasar bagi semangat mereka untuk mereformasi Arab Saudi dan menumbangkan kekuasaan keluarga Al-Saud. []Moh. Zadidun Nurrohman
 
			 
											










