almuhtada.org – Dulu, kaum kafir Quraisy pernah mencoba melakukan negosiasi dengan Rasulullah SAW. Mereka berkata, “Kami sembah Tuhanmu setahun, dan engkau sembah tuhan kami setahun.” Sekilas, tawaran itu terdengar adil, bahkan diplomatis. Namun di baliknya, tersimpan upaya halus untuk menggoyahkan kemurnian tauhid dan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan. Tak lama kemudian, Allah SWT menurunkan surah Al-Kafirun sebagai bentuk penolakan total terhadap kompromi tersebut. Surah ini menjadi deklarasi tegas bahwa dalam hal aqidah, tidak ada ruang tawar-menawar.
Berikut merupakan hal unik dalam Surah Al-Kafirun mengenai ketegasan:
Pertama, Surah Al-Kafirun menegaskan bahwa tidak ada kompromi sekarang dan selamanya. Menyembah Tuhan bukanlah bentuk negosiasi atau kerja sama lintas keyakinan. Dalam Islam, tauhid adalah prinsip utama yang tak bisa diganggu gugat: “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Kalimat ini bukan sekadar ucapan, tetapi pernyataan hidup bahwa hanya Allah SWT yang layak disembah. Rasulullah SAW pun menolak keras tawaran Quraisy, sebab tauhid tidak mengenal masa percobaan atau sistem bergilir.
Kedua, surah ini juga menyinggung dimensi hukum dalam ibadah. Menurut para ahli tafsir, penolakan dalam Surah Al-Kafirun bukan hanya terhadap keberadaan tuhan-tuhan selain Allah, tetapi juga terhadap cara beribadah (tariqah al-‘ibadah) mereka. Artinya, Islam tidak hanya menjaga keyakinan, tetapi juga mengatur tata cara ibadah yang sesuai dengan syariat. Ketegasan ini menegaskan bahwa ibadah tidak bisa didefinisikan menurut kehendak manusia, melainkan hanya berdasarkan petunjuk Allah SWT.
Ketiga, Surah Al-Kafirun mengandung prinsip pemisahan tegas tanpa kompromi. Di akhir ayat disebutkan, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Kalimat ini bukan bentuk permusuhan, melainkan batas yang jelas antara dua jalan kehidupan, yang haq dan yang batil. Agama adalah urusan pribadi, tidak boleh dicampur aduk demi kepentingan sosial, politik, atau toleransi semu. Islam mengajarkan untuk menghormati pemeluk agama lain, tapi tidak pernah membenarkan penyatuan ibadah atau keyakinan.
Terakhir, Surah Al-Kafirun merupakan deklarasi kemerdekaan, juga sebuah perjanjian pemutusan (‘aqd al-bara’rah) antara keimanan dan kekufuran. Ia menandai kemerdekaan hati seorang muslim dari segala bentuk tekanan dan kompromi dalam beriman. Dengan surah ini, Rasulullah SAW menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah kebebasan dalam memilih iman, bukan dalam mencampurkan iman.
Dengan demikian, Surah Al-Kafirun bukan sekadar pernyataan penolakan terhadap ajakan kaum Quraisy, melainkan simbol keteguhan aqidah Islam. Ia mengajarkan bahwa: tidak ada kompromi dalam urusan agama; kebebasan iman adalah hak individu; dan pemisahan antara yang haq dan batil adalah keniscayaan. Surah ini juga meneguhkan jati diri umat Islam, diantaranya merdeka dalam keyakinan, tegas dalam prinsip, dan lurus dalam penghambaan. Karena bagi seorang muslim sejati, tidak ada ruang untuk menyembah selain Allah SWT, sekarang, esok, dan selama-lamanya. [] Aisyatul Latifah