almuhtada.org – Bilal bin Rabah merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Beliau dilahirkan di wilayah as-Sahah, tepatnya 43 tahun sebelum hijrah.
Ayahnya bernama Rabah, yang merupakan seorang budak. Ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang berdomisili di Mekah dan melayani keluarga Bani Jumah.
Akibat keadaan dan penampilan ibunya, Bilal bin Rabah sering dijuuki ibnu as-sauda` (anak dari perempuan berkulit hitam). Bilal dikenal dengan julukan Abu Abdul Karim, sementara pendapat lain menyebutnya sebagai Abu Abdillah.
Bilal bin Rabah adalah seorang budak yang bertubuh kekar dan tegap, memiliki rambut keriting, serta berkulit gelap. Beliau berasal dari keturunan Habasyah (Ethiopia). Bilal dibesarkan di kota Mekkah, sebagai seorang hamba milik keluarga Bani Abdu ad-Dar (Bani Jumah).
Setelah ayahnya wafat, Bilal diserahkan kepada Umayyah bin Khalaf, tokoh terkemuka dari kaum Quraisy dan salah satu pemimpin kekafiran.
Keputusan Bilal bin Rabah dalam memeluk agama islam adalah momen krusial dalam hidupnya. Dilahirkan sebagai budak di tepi Kota Mekkah, Bilal dengan setia mengerjakan perintah majikannya, melaksanakan berbagai pekerjaan tanpa imbalan atau pengakuan.
Sebelum masuk Islam, Bilal menjalani kehidupan yang dipenuhi oleh penindasan dan harga diri yang rendah. Namun, kedatangan Nabi Muhammad SAW di Mekkah, membawa petunjuk yang benar dan terang, memberikan Bilal jalan menuju kebebasan.
Pada usia tiga puluh tahun, Bilal merespon ajakan dari Abu Bakar untuk masuk Islam. Sebelum Bilal memeluk islam, Bilal sering kali mendengar nama Nabi Muhammad SAW disebut dalam diskusi yang dipimpin oleh Ummayah bin Khalaf bersama rekan seusia dan pemimpin suku.
Pada suatu malam, Abu Bakar mendatangi rumah Bilal untuk membujuknya menerima ajaran Islam. Walaupun semula bimbang, Bilal berusaha mendapatkan penjelasan tentang kebenaran ajaran Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan kesetaraan antar manusia, menyamakan mereka seperti gigi sisir, serta menekankan bahwa kebangsawanan sejati terletak pada iman dan ketakwaan, bukan pada status sosial.
Usai mendengarkan penjelasan itu, Bilal melafalkan dua kalimat syahadat, pernyataan iman dalam Islam. Dengan perasaan yang penuh emosi, Bilal sujud dengan penuh kerendahan hati. Sejak saat itu, Bilal bin Rabah bertekad penuh untuk menjalani ajaran Nabi Muhammad dengan keyakinan yang kuat.
Kemudian berita tersebut sampai ke telinga Umayyah bin Khalaf. Beliau sangat marah kepada Bilal bin Rabah, karena merasa dikhianati. Kemarahannya beliau lampiaskan dengan cara menyiksa Bilal bin Rabah, berharap Bilal akan meminta maaf dan meninggalkan agama Islam.
Bilal bin Rabah mengalami penyiksaan tanpa henti oleh Umayah, beliau dipukuli, kemudian diarak keliling kota Makkah. Karena Bilal tetap bertahan, dia terpapar sinar matahari di atas pasir panas, tanpa makanan atau minuman.
Saat matahari berada tepat di atas kepala dan padang pasir terasa sangat panas, Bilal mengenakan baju besi, dan dibiarkan berjemur di bawah sinar matahari yang menyengat, dadanya juga dihimpit batu.
Dalam situasi sulit tersebut, iman Bilal bin Rabah tetap teguh. Umayah memaksa Bilal untuk menyebut al-Latta dan al-Uzza, namun Bilal terus mengatakan, “Allah… Allah… Allah”.
Kabar tentang penyiksaan Bilal akhirnya sampai ke telinga Abu Bakar As-Sidiq, lalu beliau membeli Bilal dan membebaskannya dari Umayah dengan harga sembilan uqiyah emas.
Bagi Umayah, jika Abu Bakar membeli Bilal dengan harga 1 uqiyah emas, dia akan memberikannya, tetapi bagi Abu Bakar, meskipun Umayah menetapkan harga 100 uqiyah emas, Abu Bakar tetap akan membebaskannya.
Bilal bin Rabah wafat pada tahun 20 Hijriah, saat berusia sekitar 60 tahun, di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Kematian Bilal disebabkan oleh penyakit parah yang mengganggunya.
Penyakit ini menyebabkan wajahnya terlihat pucat dan mata tertutup oleh cairan. Namun, meskipun sudah tiada, nama Bilal tetap bergema sampai sekarang karena kasihnya yang mendalam kepada Rasulullah.
Kisah Bilal bin Rabah adalah teladan yang mencerminkan kekuatan iman yang tak tergoyahkan meskipun harus menghadapi penyiksaan yang sangat berat. Ketekunannya untuk tetap setia kepada Allah SWT, meskipun menghadapi ancaman dan kesulitan, membuktikan bahwa keyakinan yang kokoh mampu mengatasi semua halangan.
Oleh karena itu, cerita ini memotivasi kita untuk terus berpegang pada iman, apa pun rintangannya, dan mengingat bahwa kesetiaan kepada Allah SWT adalah sumber kekuatan yang sesungguhnya. [Maulida Auliyah]