Utang Negara Tembus Ribuan Triliun, Apakah Dosanya Ikut Kita Tanggung di Akhirat?

Ilustrasi utang, salah satu cara mendapat uang (Freepik.com - Almuhtada.org)

almuhtada.org – Pernahkah kalian mendengar celetukan bahwa setiap bayi yang lahir di negeri ini langsung menanggung utang jutaan rupiah?

Angka utang negara yang fantastis sering kali membuat kita cemas.

Sebagai seorang muslim, kecemasan itu bisa jadi lebih dalam: Jika utang pribadi saja bisa menghalangi jalan ke surga, bagaimana dengan utang negara yang bebannya terasa begitu masif?

Apakah kita sebagai rakyat biasa akan ikut “dihisab” atas kebijakan utang yang diputuskan oleh pemerintah? Mari kita urai benang kusut ini menurut kacamata Islam.

Untuk memahami konteks utang negara, kita harus mulai dari dasarnya: utang pribadi.

Dalam Islam, utang bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan amanah dan janji suci yang wajib ditunaikan.

Begitu seriusnya perkara ini, Rasulullah SAW pernah menolak menyalatkan jenazah seorang sahabat yang masih memiliki tanggungan utang, sampai ada sahabat lain (Abu Qatadah ra.) yang menjamin akan melunasinya.

Kisah ini menjadi pengingat keras bahwa utang pribadi adalah tanggung jawab mutlak yang melekat pada individu hingga hari pertanggungjawaban.

Menundanya padahal mampu, dicap sebagai sebuah kezaliman.

Intinya, dalam skala personal, siapa yang berutang, dialah yang bertanggung jawab penuh di hadapan Allah.

Lalu, apakah prinsip ini bisa langsung diterapkan pada utang negara? Jawabannya tegas: tidak.

Logikanya sederhana. Kita sebagai warga negara tidak pernah secara pribadi menandatangani akad pinjaman triliunan rupiah itu.

Baca Juga:  Rahasia LDR Suami Istri Tetap Harmonis ala Islam

Keputusan untuk berutang, negosiasi bunga, dan alokasi dananya adalah wewenang penuh yang diambil oleh para pemimpin atau pemegang kebijakan (pemerintah).

Di sinilah prinsip keadilan Islam yang paling fundamental berlaku, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

“Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. An-Najm: 38)

Ayat ini adalah pemisah yang jelas. Karena kebijakan utang adalah “perbuatan” pemerintah, maka mereka jugalah yang akan memikul pertanggungjawabannya.

Analogi sederhananya, jika seorang CEO membuat perusahaan berutang besar, maka dewan direksi akan meminta pertanggungjawaban kepada sang CEO, bukan kepada seluruh karyawan.

Para karyawan mungkin akan merasakan dampak ekonominya (fasilitas berkurang, bonus tertunda), tapi mereka tidak menanggung dosa kesalahan pengambilan keputusan tersebut.

Jadi, Apa Sebenarnya “Beban” Rakyat?

Jadi, ketika ada yang mengatakan “setiap warga menanggung utang negara,” itu bukanlah beban dosa di akhirat.

Itu adalah beban ekonomi di dunia. Bentuknya nyata dan kita rasakan bersama, seperti:

  • Pajak yang kita bayarkan, sebagian digunakan untuk membayar cicilan dan bunga utang.
  • Keterbatasan Anggaran, di mana dana untuk layanan publik seperti pendidikan atau kesehatan mungkin berkurang.
  • Potensi Inflasi dan dampak ekonomi lainnya.

Ini adalah konsekuensi duniawi dari sebuah kebijakan, bukan transfer dosa.

Pena Pertanggungjawaban Ada di Tangan Pemimpin

Pada akhirnya, Islam meletakkan beban pertanggungjawaban terbesar pada pundak para pemimpin.

Baca Juga:  Bagaimana Konsep Welfare State Dalam Perspektif Islam?

Merekalah yang memegang “pena” untuk setiap kebijakan yang mengatasnamakan rakyat. Seperti dalam sabda Rasulullah SAW yang sangat terkenal:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin (pemelihara), dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Jika utang negara dikelola dengan amanah, transparan, dan hasilnya benar-benar dirasakan untuk kemaslahatan rakyat, maka itu bisa menjadi pahala bagi pemimpin.

Sebaliknya, jika dikelola dengan buruk, penuh kebocoran, dan menyengsarakan rakyat, maka pemimpin itulah yang akan menanggung bebannya di hadapan Allah kelak.

Kita boleh tidur tenang tanpa perlu khawatir ikut menanggung dosa utang negara di akhirat.

Tanggung jawab spiritual itu ada di pundak para pembuat kebijakan.

Tugas kita sebagai rakyat adalah menjadi warga negara yang sadar, kritis, dan terus mendoakan agar para pemimpin kita senantiasa amanah dalam mengelola negara. [] Raffi Wizdaan Albari

 

Related Posts

Latest Post