Demokrasi Hanyalah Ilusi, Rakyat Teruslah Bermimpi

kematian demokari indonesia yang sedang di perjuangkan rakyat (pinterset - almuhtada.org)

almuhtada.org – Sebutan negara demokrasi adalah hal yang sangat jijik untuk di dengar di bumi pertiwi. Melihat kenyataan hari ini, demokrasi di negeri ini tak lebih dari ilusi yang dibungkus janji, sementara rakyat terus bermimpi tanpa pernah benar-benar terbangun. Rakyat telah terlelap dengan segala ilusi yang diberi.

Memang secara formal dan kenyataan yang tak bisa di pungkiri, Indonesia punya semua instrumen khayalan demokrasi: pemilu lima tahunan, partai politik, lembaga perwakilan rakyat. Tapi siapa yang bisa menyangkal bahwa sistem ini hanya dikuasai segelintir elit. Kursi-kursi kekuasaan bukan ditentukan oleh suara rakyat, melainkan oleh uang, kekuasaan, dan jaringan oligarki.

Demokrasi akhirnya berubah menjadi permainan eksklusif yang hanya bisa diakses mereka yang punya modal. Setiap kali pemilu tiba, rakyat dijanjikan perubahan yang sangatlah manis padahal sudah pasti dan di pastikan hanya sekedar pelumas kusi. Poster, baliho, dan iklan politik menghiasi jalanan. Rakyat sorak-sorai, seolah-olah punya harapan baru. Namun, setelah suara terkumpul dan pesta usai, mimpi itu runtuh. Pejabat sibuk berbagi kekuasaan, sementara rakyat kembali ke rutinitas penuh kesulitan.

Demokrasi seakan hanya menjadi panggung sandiwara, tempat rakyat dipaksa berperan sebagai penonton setia. Dan pendukung bayaran Ironi paling pahit adalah ketika rakyat mencoba bersuara lewat demonstrasi. Kasus tukang Grab yang terlindas mobil polisi atau kematian Iko Julian, mahasiswa hukum yang diduga dianiaya aparat saat aksi adalah bukti nyata bahwa menyuarakan kebenaran di negeri ini bisa berakhir dengan petaka.

Baca Juga:  Percayalah Mau Bagaimanapun Orang Tua Selalu Kalah terhadap Anaknya

Demokrasi yang katanya menjamin kebebasan berpendapat justru sering menghadiahi rakyat dengan gas air mata, borgol, bahkan liang lahat. Di era media sosial, rakyat seharusnya punya ruang lebih bebas untuk berpendapat. Namun, ruang itu juga diracuni oleh buzzer politik yang dibayar untuk membentuk opini semu. Kritik dibungkam dengan serangan personal, media sosial pun di blokir untuk menutupi fakta-fakta yang tersedia di lapanagan serta kebenaran yang ditenggelamkan oleh propaganda. Demokrasi digital akhirnya tak jauh berbeda dengan demokrasi konvensional: penuh manipulasi, penuh ilusi.

Kini yang muncul pertanyaan sangat mendasar di dalam pikiran adalah apakah rakyat benar-benar berdaulat? Atau demokrasi hanyalah mimpi kolektif yang dipelihara oleh elit agar hanya tertulis sebagai negara demokrasi, meskipun kenyataannya mereka semakin tertindas? Rakyat bermimpi tentang keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan. Tapi mimpi itu tak pernah jadi nyata, karena demokrasi sudah dikuasai oleh mereka yang menganggap kekuasaan sebagai warisan keluarga dan bisnis pribadi.

“Demokrasi hanya ilusi, rakyat bermimpi.” Kalimat ini bukan sekadar slogan pesimis, melainkan cermin kenyataan pahit di negeri ini. Selama sistem politik masih dikendalikan oleh uang, aparat masih represif terhadap rakyat, dan pejabat masih sibuk memperkaya diri, demokrasi hanyalah nama indah tanpa makna. Dan selama itu pula, rakyat hanya bisa terus bermimpi entah sampai kapan. Dan pesan untuk rakyat yang saat ini masih bernafas di bumi pertiwi ini TERUSLAH BERMIMPI …! Trimakasi atas mimpinya “rakyat” (Muhammad Nadif)

Baca Juga:  Bagaimana Konsep Welfare State Dalam Perspektif Islam?

Related Posts

Latest Post