Perlu Kamu Tahu, ini Sikap Pura-Pura yang harus di Perhatikan

ilustrasi topeng sebagai bentuk kepura-puraan (Pixabay.com - almuhtada.org)
ilustrasi topeng sebagai bentuk kepura-puraan (Pixabay.com - almuhtada.org)

Kepura-puraan, atau perbuatan berpura-pura, telah dianggap sebagai salah satu perbuatan paling hina dalam kehidupan manusia. Dalam konteks agama, sikap berpura-pura disamakan dengan kemunafikan. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 145 dan At-Taubah ayat 68, telah disebutkan bahwa pelaku kepura-puraan diancam dengan neraka Jahanam yang paling bawah dan mereka akan dijadikan kekal di dalamnya.

وَيُعَذَّبُونَ فِيهَا أَبَدًا

Mengapa ancaman sebesar itu telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada kaum yang berpura-pura? Sebab, tindakan tersebut dianggap sangat jahat, menyakitkan, dan menyesatkan. Bahkan, tidak sedikit orang yang menyatakan bahwa kaum berpura-pura lebih membahayakan dibanding apa pun yang ada di bumi ini.

Senyuman palsu dapat ditampakkan oleh mereka. Kata-kata lembut bisa diucapkan, dan pelukan hangat dapat diberikan. Namun ternyata, dalam hati telah disimpan bara api kebencian yang membakar.

Korban-korban telah dijadikan tumbal oleh sikap pura-pura mereka. Empati dan simpati telah diperlihatkan secara palsu, namun tanpa disadari, penghianatan telah dilakukan. Kita mengira bahwa kebaikan akan diberikan, namun ternyata penusukan dari belakang yang dijalankan. Semua itu dilakukan dengan wajah datar, tanpa emosi.

Orang-orang yang memiliki sifat seperti itu kini telah banyak ditemui. Bahkan, kesatuan di antara mereka telah ditunjukkan dengan sangat kuat. Pilpres dan kehidupan berbangsa telah dianggap baik-baik saja, padahal kepalsuan sedang dijalankan.

Kondisi ini mengingatkan pada ayat dalam surat An-Nazi’at ayat 24, di mana Fir’aun berkata:

Baca Juga:  Ibnu Batutah: Sang Penjelajah Muslim Abad Ke-14 yang Menaklukkan Dunia

أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ

“Aku adalah Tuhanmu yang paling tinggi!”

Walaupun Fir’aun tidak diyakini sebagai Tuhan, namun karena alasan keamanan dan kepentingan tertentu, penyembahan tetap diberikan kepadanya. Kekejaman Fir’aun diketahui oleh mereka, namun demi keselamatan pribadi dan keluarga, pujian tetap diarahkan kepadanya. Penderitaan rakyat akibat kerja paksa demi pembangunan piramida telah disaksikan, namun selama keluarga sendiri tidak menderita, pembenaran tetap diberikan.

Kepura-puraan telah ditunjukkan sebagai sesuatu yang buruk. Namun sayangnya, hal ini justru telah dianggap normal oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan, orang yang pura-pura jahat tapi sejatinya baik, telah dipuja. Padahal baik yang dipalsukan atau jahat yang disembunyikan, keduanya sama-sama salah, karena dasar dari keduanya adalah kepalsuan.

Jika kebaikan memang dimiliki, mengapa kejahatan pura-pura harus diperlihatkan? Jika kejahatan memang yang dikuasai, mengapa kebaikan harus dipalsukan?

Orang baik yang menyembunyikan kebaikannya melalui topeng jahat, telah menjadikan dirinya sebagai pembohong terhadap jati dirinya sendiri. Orang lain yang ingin mengenalnya dengan tulus, telah dibuat salah paham oleh topeng palsu yang dikenakan.

Jika seseorang memang jahat lalu berpura-pura baik, hal itu setidaknya bisa dimaklumi dalam pandangan manusia yang penuh pencitraan. Tapi orang baik yang berpura-pura jahat, sesungguhnya telah menunjukkan keberanian untuk membohongi orang lain, semata demi menyelamatkan citra diri.

Fenomena orang baik yang tampak keras di luar namun berhati emas memang sering dijadikan tokoh dalam film. Mereka tampak menyeramkan, tetapi bantuan tetap diberikan secara diam-diam. Dalam benak mereka, niat baik lebih penting dibanding kesan baik.

Baca Juga:  Tan Malaka: Jejak Bapak Republik dalam Perspektif Islam Revolusione

Sebaliknya, orang jahat yang memakai topeng kebaikan justru dianggap lebih berbahaya. Mereka bisa tampak manis, sopan, spiritual, dan penuh perhatian. Namun di balik itu semua, manipulasi dan tipu daya disimpan. Ketika topeng itu akhirnya jatuh, kekecewaan besar ditimbulkan. Bukan hanya karena perilaku, tapi karena kepercayaan yang selama ini telah diberikan secara utuh.

Penilaian yang sering didasarkan pada tampilan luar telah menjadikan banyak orang tersesat dalam menilai. Ketidaktahuan, sikap diam, atau cara komunikasi yang sederhana, telah dianggap buruk. Sementara penampilan sopan dan tutur kata manis langsung dipercayai, padahal isi hatinya belum tentu bersih.

Dunia memang tak sesederhana hitam dan putih. Tapi satu hal yang pasti: topeng yang digunakan untuk menyakiti lebih berbahaya daripada topeng yang digunakan untuk melindungi.

Bukan berarti kepura-puraan bisa dibenarkan demi niat baik. Jika niat baik tidak dipahami karena cara penyampaiannya buruk, maka penyampaiannya perlu diperbaiki, bukan justru dibungkus dengan kepalsuan.

Pada akhirnya, kejujuran harus dijadikan sebagai nilai hidup. Apakah diri ini sedang dijalankan dengan nilai-nilai yang diyakini, ataukah sedang diperankan sebuah tokoh demi kepentingan dunia?

Dunia yang penuh pencitraan tidak seharusnya dijadikan alasan untuk ikut berpura-pura. Jika kejujuran masih bisa dilakukan, maka sebaiknya kejujuranlah yang dipilih. Meski sulit, tapi hidup akan dijalani dengan lebih tenang.

Tahukah Kita Apa Ganjaran Bagi Mereka yang Berpura-pura?

Baca Juga:  Bagaimana Kedudukan Manusia dalam Penciptaan Allah SWT?

Dalam kitab Uyunul Akhbar, Ibnu Qutaybah menyampaikan:

من صلحت سريرته فيما بينه وبين الله أصلح الله ما بين الله وبين الناس، ومن تزين للدنيا بغير ما يعلم الله منه سانه الله

“Barangsiapa memperbaiki hubungan batinnya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Dan barangsiapa berhias diri di hadapan manusia dengan sesuatu yang berbeda dari yang diketahui Allah, maka ia akan dijadikan hina oleh Allah.”

Jika sikap pura-pura baik dilakukan di hadapan manusia, namun kebaikan itu tidak diketahui oleh Allah, maka kehormatan justru akan dijatuhkan oleh-Nya. Sungguh, itu ganjaran yang menyakitkan: ingin dipuji oleh manusia, namun justru dipermalukan oleh Allah.

Sebaliknya, jika perbaikan diri dilakukan dengan ikhlas di hadapan Allah, maka kemuliaan akan diperlihatkan oleh Allah kepada manusia, tanpa perlu dipoles dengan kepalsuan.

Hadis Nabi SAW pun mengingatkan kita:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ
(HR. Bukhari)

“Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang bermuka dua, yang datang kepada satu kaum dengan wajah tertentu dan kepada kaum lain dengan wajah berbeda.”

Karena itu, hendaknya kepura-puraan dihindari sepenuhnya. Kejujuran harus dijalani, agar hidup bisa dilalui sesuai dengan jati diri yang sesungguhnya.[] Idha Fitri Nuril Layliyah

Related Posts

Latest Post