Mengapa Santri Harus Memiliki Sifat Tawadhu Kepada Guru: Meneladani Kisah Imam Ibnu Malik

Ilustrasi Santri (Freepik.com - Almuhtada.org)

Almuhtada.org – Pada zaman sekarang banyak sekali para santri yang kurangakan adanyabsifat tawadhu terhadap kyai. Para  santri seharusnya menjadi pelopor akan adanya sifat tawadhu. Karena santri merupakan icon terpenting dalam melestarikan akhlaq yang mulia atau akhlaq yang baik. Tawadhu’ adalah sifat rendah hati atay kerendaan diri yang mencerminkan sikap tidak sombong,o meghormat orang lain dan menydari bahwa kelebihan sepenuhnya milik allahSWT. Dan semua kelebihan yang terdapat pada diri kita sendiri itu adalh hanya milik allah SWT semata wayang kita hanya di berikan titipan kelebihan itu sendiri.

Santri pun begitu juga jangan sampai sombong kepada kyai aataupun guru tang sudah mendidik kita da mentransfer ilmu tanpa imbalan yang lebih. Ada suatu kisah yaitu Imam Maliki pengarag kitab alfiyah Imam Ibnu Malikpernah sombong akan karangan yang ia buat padahal karangan alfiyah belum selesai ia buat didalam karangannaya beliau tepat di kaangan alfiyah nadzom lima yang berbunyi, “kitab ini lebih mudah menuntut kerelaan tapa kemarahan, melebihi kitab alfiyahnya Imam Ibnu Mu’ti” setelah Imam Ibnu Malikmenulis seperti itu dalam karagan alfiyah beliau scara tiba-tiba hilang semua hafalan-hafalan yang ia ingin tuliskan dalam karagan alfiyah beliau. Sapai berhenti beberapa tahun karena semua hafalanya lenyap entah kenapa.

Baca Juga:  Inilah Penyebab Doa Tidak Terkabulkan, Simak Penjelasannya!

Hingga kemudian ia bertemu seorang dalam mimipnya

‘”Aku dengar kau sedang megarang alfiyah tentang ilmu nahwu wahai ibnu malik”.

“Betul” (sahut imam ibnu malik).

“Sampai di mana”

“Faiqatan laha bi alfi baitin…..” (sahut imam ibnu malik)

“Apa yang membuatmu berhenti menyelesaikan bait ini”

“Aku lesu tak berdaya selama bebrapa hari” (sahut Imam Ibnu Malik)

“Kau ingin menuntaskannya”

“Ya” (sahut Imam Ibnu Malik)

Lalu setelah sebangun dari mimpi itu Imam Ibnu Malik pun melanjutkan karangan alfiyahnya dan setelah itu Imam Ibnu Malik pun mengkonfirmasi mimpi tersebut, ‘’Apakah Imam Ibnu Mu’ti” (Imam Ibnu Malik) “iya betul” seteleh itu imam ibnu malik pun malu atas perilaku yang sudah dia buat dan Imam Ibnu Malik pun insyaf dari perilakunya yang seakan-akan merendhkan gurunya sediri. Pagi harinya seketia ia membuat bait yang lebih sempurna yaitu di bait “beliau(Imam Ibnu Mu’ti) lebih istiwema karena kebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah” “semoga allah melimpahkan karunianya yang luas untuk beliau pada drajat-drajat tinggi akhirat”.

Kesimpulan dari cerita tersebut meneangkan bahwasanya tawadu’ itu penting walaupun ketika kita sudah merasa ilmu kita sudah jauh di atas ilmu dari guru kita. Cerita di atas bukan untuk mendoktrin bahwa Imam Ibnu Malik tidak memiliki sifat tawadhu’ tetapi dari kisah Imam Ibnu Malik dalam perjalanan beliau dalam mengarang kitab alfiyah juga tidak boleh merendahkan guru kita. Sekelas Imam Ibnu Malik aja meghormati gurunya dan bersikap tawadhu masak kita tidak. [] Muhammad Nadif

Editor : Raffi Wizdaan Albari

Related Posts

Latest Post