almuhtada.org – Menjadi ambisius bukanlah sesuatu yang salah. Justru, banyak orang sukses lahir dari ambisi dan dorongan kuat untuk memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaan. Namun, masalah mulai muncul ketika ambisi berubah menjadi tuntutan untuk selalu sempurna di segala waktu, di segala kondisi, bahkan ketika hal itu melibatkan banyak orang yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya.
Dalam hidup, kita akan selalu bertemu situasi yang tidak akan match dengan ekspektasi. Terutama dalam hal yang berkelompok. Kita mungkin sudah punya gambaran ideal di kepala, tapi orang lain punya cara kerja, ritme, dan standar yang berbeda. Pada titik ini sering muncul frustasi, lelah, dan akhirnya… kita yang mengambil alih semuanya karena “kalau bukan aku, nanti nggak beres”.
Padahal, di sinilah letak jebakannya.
Ketidaksempurnaan yang Tidak Bisa Kita Kendalikan
Ambisius sering membuat seseorang lupa bahwa tidak semua hal berada dalam genggaman. Kita bisa mengatur diri sendiri, tetapi tidak bisa memaksa orang lain bekerja persis sesuai standar yang ada di kepala kita. Dalam kerja kelompok misalnya, selalu ada saja satu-dua bagian yang tidak dikerjakan sesuai harapan. Hasilnya tampak kurang rapi, tidak sejalan dengan aspek perfeksionis, dan pada akhirnya membuat kita ingin turun tangan untuk memperbaikinya sendiri.
Sekilas, cara itu terasa “lebih cepat” dan “lebih aman”. Tapi jangka panjangnya?
Justru diri sendirilah yang tersakiti. Mental terasa lelah, emosi terkuras, dan muncul perasaan bahwa kitalah yang selalu bekerja paling keras. Padahal, kenyataannya kita sedang memikul beban yang tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita.
Yang melelahkan bukan hanya pekerjaannya, tetapi juga tuntutan dalam diri bahwa semuanya harus sesuai keinginan bahkan ketika itu melibatkan banyak kepala dan banyak cara kerja yang berbeda.
Menuntut kesempurnaan dari semua hal sering membuat seseorang sulit mempercayai orang lain, mudah stres ketika hasil tidak sesuai ekspektasi, serta terdorong untuk mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya bisa dibagi.
Pada akhirnya, kelelahan akan ditanggung sendiri. Perfeksionisme yang tidak sehat ini sering tanpa sadar membuat seseorang memikul beban lebih berat dari yang seharusnya, dan parahnya… merasa itu normal.
Padahal, Allah telah mengingatkan bahwa manusia tidak dibebani melebihi batas kapasitasnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini menyadarkan bahwa tuntutan kita terhadap kesempurnaan seringkali lahir dari diri sendiri, bukan dari Allah. Maka ketika perfeksionisme membuat kita merasa wajib mengendalikan semua hal, bahkan hal yang berada di luar jangkauan. Saat itulah kita perlu berhenti sejenak dan kembali pada batas yang digariskan agama. Karena di titik tertentu, memaksa diri bukan lagi dedikasi, tetapi pengorbanan berlebihan yang perlahan menguras jiwa.
Melepas Kendali, Berdamai Dengan Realita
Kita perlu menerima satu prinsip penting:
- Tidak semua harus sempurna.
- Tidak semua harus kamu.
- Dan tidak semua bisa kamu kendalikan.
Misalnya dalam kerja kelompok, ada saatnya kita perlu belajar melepaskan sebagian kontrol. Biarkan orang lain mengerjakan bagiannya, terima bahwa hasil tiap orang memiliki gaya dan kualitas yang berbeda, dan fokuslah pada koordinasi alih-alih secara refleks menggantikan semua yang menurut kita kurang sempurna. Menyempurnakan bagian kita sendiri sudah cukup; tidak semua hal harus melalui tangan kita agar sebuah proyek bisa berjalan baik. Terkadang, “cukup baik” jauh lebih menyehatkan daripada “sempurna tapi menguras diri sendiri”.
Di sinilah ambisi yang sehat diuji. Ambisi sehat bukan tentang mengerjakan semuanya sendirian, tetapi tentang mengelola energi, kemampuan, dan ekspektasi agar tidak habis sebelum mencapai tujuan.
Ia memberi ruang bagi orang lain untuk berperan, percaya bahwa setiap orang belajar dari prosesnya sendiri, serta menjaga diri dari kelelahan emosional yang bisa muncul ketika kita merasa harus selalu turun tangan. Ada hal-hal yang memang perlu diperbaiki, tetapi ada pula yang sudah sepatutnya diterima sebagaimana adanya.
Pada akhirnya, kedewasaan bukan terletak pada kecakapan mengontrol setiap detail, melainkan pada kemampuan membedakan mana yang perlu dikendalikan dan mana yang perlu dilepaskan. Sebab yang memaksa diri untuk mengatur semuanya akan lelah, tetapi yang tahu kapan berhenti justru itulah orang yang bertumbuh.
Belajar melepaskan bukan tanda menyerah. Justru tanda kedewasaan.
Ketidaksempurnaan bukan kegagalan. Itu bagian dari hidup, bagian dari proses belajar, dan bagian dari hubungan dengan orang lain.
Ingat:
- Kamu tidak bertugas menyempurnakan dunia
- Kamu tidak wajib memperbaiki semua orang
- Kamu tidak harus menanggung semua tanggung jawab
- Dan kamu berhak untuk istirahat
Biarkan dirimu bernapas. Biarkan dunia berjalan tanpa harus selalu kamu yang genggam.
Wallahu a’lam bishawab. [] Rezza Salsabella Putri











