almuhtada.org – Artikel ini membahas perjalanan waktu menurut sains dan Al-Qur’an, menyoroti keselarasan antara teori relativitas Einstein dan kisah-kisah Al-Qur’an seperti Ashabul Kahfi dan Isra’ Mi’raj.
Pandangan Sains
Dalam sains modern, waktu dianggap sebagai dimensi keempat yang menyatu dengan ruang, membentuk apa yang disebut ruang-waktu (space-time). Berdasarkan Teori Relativitas Umum yang dikemukakan Albert Einstein, waktu tidak bersifat mutlak. Kecepatan dan gravitasi dapat memengaruhi cara waktu berjalan bagi seseorang.
Fenomena pelebaran waktu (time dilation) menjadi bukti bahwa waktu dapat berjalan lebih lambat bagi benda yang bergerak mendekati kecepatan cahaya. Eksperimen dengan jam atom di satelit menunjukkan bahwa waktu di luar angkasa sedikit lebih cepat daripada di bumi. Dengan teori ini, perjalanan ke masa depan dianggap mungkin secara ilmiah, walau masih di luar kemampuan teknologi manusia saat ini.
Sebaliknya, perjalanan ke masa lalu masih menjadi misteri. Sejumlah ilmuwan mengusulkan konsep wormhole atau lubang cacing, semacam terowongan ruang-waktu yang mungkin menghubungkan dua titik waktu berbeda. Namun, sejauh ini, semua teori tersebut masih bersifat matematis dan belum dapat dibuktikan secara nyata.
Pandangan Al-Qur’an
Dalam pandangan Islam, waktu adalah ciptaan Allah yang tunduk pada hukum-Nya. Manusia tidak bisa melompat melintasi waktu, karena segalanya berjalan sesuai takdir yang telah ditentukan. Allah Swt. berfirman:
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ كُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ ٣
Artinya: “Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Al-Anbiya: 33)
Ayat ini menunjukkan keteraturan waktu dalam sistem ciptaan Allah. Namun, Al-Qur’an juga menggambarkan bahwa persepsi waktu tidak selalu sama bagi setiap makhluk. Kisah Ashabul Kahfi menjadi contoh, di mana para pemuda tertidur selama 309 tahun, tetapi merasa hanya tertidur sebentar. Ini diceritakan dalam Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat 19–25. Hal ini menunjukkan bahwa dalam dimensi tertentu, waktu dapat “melambat” atau “berbeda” sebagaimana dijelaskan dalam teori fisika.
Selain itu, peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. juga menjadi contoh fenomena waktu yang luar biasa. Dalam satu malam, Rasulullah saw. melakukan perjalanan jauh hingga ke langit, sementara bagi manusia di bumi, waktu tersebut terasa sangat singkat. Hal ini membuktikan bahwa Allah berkuasa atas waktu, dan bisa melipatnya sesuai kehendak-Nya.
Allah Swt. juga berfirman:
يُدَبِّرُ الْاَمْرَ مِنَ السَّمَاۤءِ اِلَى الْاَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ اِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهٗٓ اَلْفَ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّوْنَ ٥
Artinya: “Satu hari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah: 5)
Ayat ini memperlihatkan adanya relativitas waktu dalam pandangan Islam, selaras dengan konsep ilmiah bahwa waktu bersifat relatif.
Sains menjelaskan bagaimana waktu dapat berubah oleh kecepatan dan gravitasi, sementara Al-Qur’an menjelaskan bahwa waktu adalah bagian dari kehendak Allah. Keduanya tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Bagi manusia, perjalanan waktu sejati bukanlah menembus masa lalu atau masa depan secara fisik, tetapi melalui ilmu, amal, dan iman untuk menuju kehidupan abadi di akhirat tempat di mana waktu dunia tidak lagi berarti. [] Syukron Yuli Yanto











