almuhtada.org – Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Mataram yang pernah mencapai puncak kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Agung, mengalami masa kelam pada pemerintahan putranya, Amangkurat I. Memerintah dari tahun 1646 hingga 1677, Amangkurat I dikenal sebagai penguasa bertangan besi, terutama terhadap para ulama yang dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaannya.
Latar Belakang serta Kronologi
Pembantaian ini terjadi di sekitar tahun 1647 atau 1648 yang dilatarbelakangi oleh kudeta yang dilakukan oleh Pangeran Alit. Upaya kudeta tersebut berhasil menyita atensi para ulama dan beberapa bangsawan meskipun pada akhirnya upaya tersebut harus menemui kegagalan serta pembunuhan Pangeran Alit sendiri.
Meskipun kudeta yang dilancarkan oleh adik tirinya sendiri telah berhasil ditumpas bersih, Amangkurat I merasa tetap perlu membersihkan sisa-sisa upaya tersebut, salah satunya dengan menyingkirkan para ulama sebagai pendukung yang berpengaruh kuat sehingga menurutnya dapat menjadi ancaman terhadap kekuasaanya.
Empat pembesar keraton dipilih untuk menunaikan titah pembantaian, mereka adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra. Mereka diarahkan agar menyebar ke empat penjuru wilayah dalam rangka mengumpulkan para ulama, sekaligus dengan seluruh anggota keluarga mereka dengan dalih menghadiri rapat istana.
Eksekusi
Begitu mereka berkumpul di alun-alun Plered, sebuah dentuman keras dari meriam istana terdengar, menandai dimulainya eksekusi pembantaian tersebut. Dalam hanya 30 menit, lebih dari 6.000 ulama dibunuh. Darah menggenangi alun-alun, mayat-mayat berserakan, bahkan diceritakan bau anyir khas darah menyelimuti Mataram selama berhari-hari setelah kekejian tersebut.
Sementara itu, sang mastermind, Amangkurat I, berusaha menyembunyikan keterlibatannya. Bahkan selama pembantaian, Amangkurat I memerintahkan para pengawalnya untuk menutup Keraton Plered serta meningkatkan pengawasan.
Esoknya, Amangkurat I berpura-pura terkejut dan mengutuk atas apa yang telah terjadi. Namun, alih-alih berbela sungkawa terhadap kematian para korban, dia malah menuduh para korban terlibat penuh dalam upaya pembunuhan Pangeran Alit. Selain itu, dia juga memaksa beberapa pembesar kerajaan untuk mengaku bahwa merekalah dalang dibalik pembantaian para ulama tersebut sehingga para pembesar kerajaan tersebut beserta dengan para anggota keluarga mereka dihukum mati.
Dampak dan Warisan Kekejaman
Pembantaian ini tidak hanya merenggut ribuan nyawa, tetapi juga meninggalkan luka mendalam dalam sejarah Islam di Nusantara. Para ulama yang selama ini menjadi pemimpin spiritual dan sosial di masyarakat, dimusnahkan dalam sekejap.
Amangkurat I akhirnya wafat pada tahun 1677, setelah mengalami pemberontakan besar yang dipimpin oleh Pangeran Trunojoyo, yang didukung oleh rakyat dan pejabat istana. Ia dimakamkan di Tegal Arum, Adiwerna, meninggalkan warisan kekuasaan yang penuh darah dan kontroversi. [Moh. Zadidun Nurrohman]