almuhtada.org – Keutuhan struktural bisa dilihat dari binary opposite: pria-wanita, kaya miskin, dan sukses-gagal.
Kedua sisi bertolak belakang tersebut saling berhubungan dalam membentuk struktur yang mencerminkan keadaan nyata.
Sebagai contoh, dilihat dari bagaimana interaksi yang terjadi antar oposisi gender, misal sebagaimana sifat dari keduanya sering digeneralisasikan sebagai dua koin mata uang bertolak belakang: Rasional-emosional, monotasking-multitasking, dan berorientasi masa sekarang-berorientasi masa depan.
Tiap-tiap dari binary opposite tersebut bisa dianalisis lebih dalam yang akan menunjukan keutuhan struktur yang lain.
Bagaimanapun, dalam hal ini juga dapat dilihat dua hal yang sering disandingkan tersebut sebagai cerminan struktur masyarakat yang beranggapan bahwasanya laki-laki dan perempuan merupakan sepasang.
Sebagaimana mata koin, dua sisi bertolak belakang tetapi membentuk satu nilai.
Kemudian dalam bahasa, keutuhan makna dapat diukur dari bagaimana dua kata yang bertolak belakang saling membatasi.
Hal itu sebagaimana kita bisa tahu “terang” karena pernah dalam “gelap”.
Meskipun demikian ada kata yang memiliki jangkauan luas sebagaimana yang dibentuk dalam afiksasi ke- -an atau -itas.
Keduanya adalah untuk membentuk kata benda abstrak yang menunjukan keadaan atau kualitas.
Sebagai contoh kata ‘keaktifan’ yang artinya sifat aktif/kegiatan.
Jika dilihat dari kaca mata seorang mahasiswa, kita tahu bahwasanya dosen dalam menilai “keaktifan” kita dengan memberikan penilaian yang justru menunjukan ‘kepasifan’ kita.
Uniknya adalah makna suatu unit bahasa tidak terstruktur dalam tatanannya saja, melainkan juga dipengaruhi oleh struktur sosial, sehingga ketika kita menelaah makna satu kata yang terkena interupsi persepsi sosial, kita bisa memetakan masyarakat sosialnya.
Contohnya adalah ‘produktivitas’ yang terpengaruhi oleh sistem kapitalisme sehingga maknanya menjadi norma yang menyoalkan tentang dampak satu individu untuk menghasilkan.
Ada masa di mana produktivitas tidak memiliki tandingan yang mengoposisinya, sehingga dalam hal itu menimbulkan seseorang yang merasa dirinya tidak berguna ketika produktivitasnya menurun.
Alhamdulillahnya, dewasa ini, terbentuk terminologi toxic productivity sebagai bentuk resistensi terhadap eksploitasi yang dilakukan kapitalis.
Itu menjadikan pembicaraan-pembicaraan mengenai work-life balance timbul ke permukaan dan menjadi kesadaran sosial.
Ketiadaan oposisi makna bisa disebut sebagai tindakan silencing untuk menghilangkan kemungkinan diskursus sebagaimana ide belum bisa atau sulit disuarakan karena belum terkristalisasi dalam bentuk kata.
Hal tersebut menunjukan seberapa fluktuatif makna yang dimiliki suatu kata tergantung pergeseran pemahaman yang mana bisa (maksudnya bukan suatu kepastian) dimonopoli oleh kuasa tertentu, dalam kasus ‘produktivitas’ adalah kapitalis.
Untuk itu dalam memaknai suatu kata, kita tidak bisa serta merta menelannya begitu saja, meskipun tidak harus seperti anak sastra yang mempertanyakan tentang red door.
Namun, sekurang-kurangnya lebih sadar terhadap kuasa-kuasa berpengaruh yang mengakari banyak hal, contoh lain dalam kata adalah: modernisasi dan senioritas. []Muhammad Irbad Syariyah