Almuhtada.org – Bersuci telah dijadikan sebagai salah satu syarat sahnya pelaksanaan sholat, baik dari hadas kecil maupun hadas besar.
Cara bersuci yang paling utama dianjurkan untuk dilakukan dengan menggunakan air, baik untuk berwudhu maupun untuk mandi wajib.
Namun, dalam keadaan tertentu, ketika air tidak dapat ditemukan, maka tayamum dengan debu yang suci diperbolehkan untuk dilakukan.
Lalu bagaimana hukum sholat apabila air dan debu tidak dapat ditemukan ketika waktu sholat fardhu telah tiba?
Apabila seseorang tidak memperoleh air dan debu, seperti ketika berada di atas perahu yang airnya tidak dapat dijangkau, atau di tempat najis yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan debu.
Sementara air yang tersedia dibutuhkan untuk kebutuhan mendesak seperti menghilangkan dahaga orang lain, atau seseorang dalam keadaan sakit yang membuatnya tidak dapat berwudhu maupun bertayamum, maka oleh mayoritas ulama hukum sholat tetap diwajibkan atasnya, sekadar untuk menghormati waktu (li hurmatil wakti).
Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, kewajiban sholat bagi orang dalam kondisi tersebut tidak dianggap gugur sepenuhnya.
Sehingga ketika kondisi telah memungkinkan, sholat yang telah dilakukan tetap diwajibkan untuk diulang. Sedangkan menurut mazhab Maliki, pengulangan tidak dianggap wajib, dan sholatnya dinilai telah gugur.
Dalam kitab Raudhah at-Tholibin dijelaskan bahwa: “Barangsiapa tidak mendapati air atau debu, maka hendaknya sholat tetap dikerjakan sekadar penghormatan terhadap waktu.”
Dengan demikian, pelaksanaan sholat oleh seseorang yang tidak mendapatkan air dan debu tetap diwajibkan, sebagai bentuk penghormatan waktu.
Namun, mengenai kewajiban mengulang sholat setelah sarana bersuci tersedia, telah diperselisihkan oleh para ulama.
Sebagai bentuk kehati-hatian, pendapat mayoritas ulama yang mewajibkan pengulangan dapat dijadikan pilihan yang lebih baik.
Walaupun begitu, mengikuti pendapat yang tidak mewajibkan pengulangan juga diperbolehkan, karena pendapat tersebut tetap memiliki dasar dari dalil.
Diberikannya kewenangan kepada seseorang untuk mengikuti pendapat ulama yang diyakininya menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kemudahan bagi pemeluknya dalam menjalankan ibadah, tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan penghambaan kepada Allah SWT.[Sahrul Mujab]