ALMUHTADA.ORG – Di era digital saat ini, kehadiran gawai sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari termasuk dalam dunia parenting. Banyak orang tua yang dengan berbagai alasan memperkenalkan layar sejak balita. Entah sebagai pengalih perhatian, alat edukasi, atau solusi instan agar anak duduk tenang sementara orang tua bisa menyelesaikan pekerjaan. Namun, apakah kita benar-benar memahami dampak jangka panjang dari paparan screentime pada balita?
Salah satu konsekuensi yang sering luput dari perhatian adalah kondisi overstimulation pada balita. Kondisi ini terjadi ketika otak si kecil menerima terlalu banyak rangsangan visual dan suara dari layar dalam waktu yang intens dan terus-menerus. Kondisi ini tidak hanya membuat anak mudah rewel dan tantrum tetapi juga melemahkan kemampuannya untuk menyimak, memahami, dan berkomunikasi secara sehat.
Salah satu aspek penting dalam membangun hubungan sehat antara orang tua dan anak adalah kemampuan anak untuk diajak kompromi atau memahami alasan di balik aturan, menerima penjelasan, dan pada akhirnya mampu bekerja sama.
Namun, balita yang sejak kecil terbiasa mendapat rangsangan cepat dari layar cenderung memiliki tingkat kesabaran rendah, kesulitan fokus, dan rentan emosi ketika tuntutannya tidak segera dipenuhi.
Layar menyuguhkan dunia yang serba instan dan penuh warna. Ketika anak terbiasa dengan itu membuat aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, atau tidur jadi terasa membosankan. Akibatnya, ajakan orang tua untuk melakukan rutinitas seringkali ditolak mentah-mentah. Mereka tidak rewel karena nakal, tapi karena otaknya sedang “kelebihan muatan”.
Sebaliknya, anak-anak yang tidak terlalu banyak terpapar layar cenderung lebih peka terhadap komunikasi verbal. Sejak bayi, mereka terbiasa mendengar suara orang tuanya, merespons ekspresi wajah, dan menangkap intonasi nada bicara. Ketika diajak berbicara juga mereka menyimak. Ketika diberikan alasan mereka mencoba memahami.
Ini bukan tentang menjadikan anak seperti orang dewasa yang langsung patuh saat diberi instruksi. Ini tentang membangun fondasi komunikasi dua arah sejak dini. Ketika dilakukan secara konsisten, kemampuan anak dalam mendengarkan dan merespons akan tumbuh secara alami.
Tentu saja tidak semua screentime adalah buruk. Dunia digital juga punya sisi positif selama digunakan dengan bijak. Kuncinya ada pada tiga hal yaitu durasi, tujuan, dan pendampingan.
Jika screentime dilakukan dalam waktu singkat dan dengan konten edukatif yang memang dirancang sesuai usia serta didampingi oleh orang dewasa yang aktif berdialog maka manfaatnya tetap bisa dipetik.
Namun yang sering terjadi adalah layar digunakan sebagai “pengganti peran orang tua”. Anak ditinggalkan sendiri menatap animasi tanpa pengawasan dan bahkan dalam durasi yang tidak wajar. Di sinilah peran kita sebagai orang tua diuji, apakah kita menjadikan teknologi sebagai alat bantu atau justru pelarian dari tanggung jawab pengasuhan?
Kemampuan anak untuk diajak kompromi, mendengar, dan memahami bukan muncul begitu saja. Ia dibentuk dari interaksi sehari-hari yang konsisten dan hangat. Tanpa komunikasi langsung yang rutin kemampuan ini akan tumpul.
Screentime memang memudahkan banyak hal secara instan. Tapi jika tidak dikendalikan ia bisa merampas hal terpenting dari masa tumbuh kembang anak yakni hubungan emosional yang kuat dan komunikasi yang sehat dengan orang tuanya. [] SHOLIHUL ABIDIN