almuhtada.org – Ketika dihadapkan dua kondisi, mendapatkan apa yang diinginkan atau menginginkan apa yang didapatkan, mana yang lebih diinginkan untuk terterap jika orang bersifat realistis dalam artian jujur? Saya pernah dimintai untuk memaknai kedua kondisi tersebut, dan setelahnya untuk memilih di antaranya.
Ketika seseorang ingin maka ia mengharapkannya terkabul. Keinginan manusia adalah sesuatu yang sangat dinamis, ia bisa berubah sedemikian rupa tapi dalam kasus tertentu juga bertahan begitu lama; karena orang mengira keinginannya itu baik dan karenanya mengusahakannya begitu keras.
Namun, selayaknya mata yang punya titik buta, begitu pula pandangan kita tentang sesuatu yang baik. Kita tidak mungkin tahu apa yang akan terjadi bahkan sekedipan dari sekarang. Mungkin sesuatu bisa hilang dalam hitungan seper sekian detik itu. Mungkin yang hilang itu adalah faktor yang membikin sesuatu menjadi baik bagi kita.
Tak jarang pula bahwa sifat baik yang kita yakini dimiliki oleh apa-apa yang kita inginkan hanya bertahan ketika ingin tersebut masih berada dalam angan. Dalam imajinasi kita bisa membayangkan sesuka hati, tetapi realita tidak selamanya memenuhi ekspektasi. Lantas, apakah perlu bagi kita untuk tidak berkeinginan?
Tentu tidak, keinginan merupakan penggerak keakanan: “karena aku ingin ini maka aku akan begini.” Ingin selalu berorientasi ke yang-baik bagi kita, maka yang akan dilakukan pastilah suatu yang jauh dari keburukan—meskipun definisi kedua sifat tersebut berdasar pada subjektivitas tiap individu.
Maksudnya ingin seseorang bisa jadi bukan suatu yang secara universal diakui baik, dan karenanya menjauh dari keburukan yang dimaksud barang kali bukan sesuatu yang kebanyakan orang bayangkan.
Contohnya dapat dianalogikan dengan subjek pencuri, tentu yang diinginkannya adalah untuk tidak ketahuan dalam pembobolannya, dan dia akan mengusahakan yang terbaik berjalan seperti ninja misalnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang-baik bagi orang buruk adalah keburukan sebagaimana pencuri menginginkan pencuriannya berhasil.
Pada ketidakpastian subjektivitas tersebut, kita memerlukan ketetapan. Menjawab keresahan itu, dalam Al-Quran tertutlis “Barang kali kamu tidak menyukai sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak.”
Ayat tertera mengalamatkan bahwa satu-satunya ketetapan yang harus kita yakini adalah takdir Allah, dan meski selamanya kita akan menghidupinya menjalaninya, selamanya pula kita tidak tahu dan tidak akan mampu memprediksinya. Oleh karena itu, ketrampilan untuk memaknai masa sekarang sehingga timbul rasa syukur akan selamanya mampu menimbulkan tenang yang cukup. Dan yang-cukup selalu memenuhi.
Menginginkan yang didapatkan artinya selalu mensyukuri apapun yang menjadi sekarang. Dalam prosesnya hal ini perlu pemaknaan sehingga sekarang menjadi berharga untuk dijalani bahkan ketika itu adalah kegagalan. Bersyukur dalam konteks ini artinya tidak hanya menerima tetapi juga menghargai apa pun yang ditanggungkan ke dalam kehidupan kita sehingga senantiasa cukup dalam menjalaninya.
Kemudian dari keduanya, manakah yang harus dipilih?
Waktu itu aku menjawab untuk selalu bersyukur, tetapi saat ini saat artikel ini ditulis ada satu pertanyaan yang timbul di permukaan: Apakah kedua situasi tersebut berada dalan kondisi di mana jika satu terjadi maka yang lain tereliminasi? Jika tidak, kenapa harus memilih?
Sekarang kedua situasi tersebut terlihat seperti tahapan ketimbang pilihan yang harus diputuskan. Keduanya bisa diterapkan secara berdampingan. Orang bisa menginginkan apa pun yang baik baginya dan kemudian memaknai apa pun yang diberikan kepadanya sehingga menjadi berharga. Ketika keberhasilan yang mendatangi, maka memaknainya adalah bentuk rasa syukur. Pun ketika itu adalah kegagalan, tetap maknailah sampai tersyukuri: “karena kegagalan juga pembelajaran yang berharga mungkin.” Dari situlah kita akan terus berjalan. [Muhammad Irbad Syariyah]
Editor: Syukron Ma’mun