Almuhtada.org – Zainab binti Muhammad merupakan putri sulung Rasulullah SAW dan Khadijah RA. Ia menikah dengan sepupunya, Abdul Ash bin Rabi’, sebelum Rasulullah SAW menerima wahyu kenabian dari Allah SWT. Abdul Ash dikenal sebagai pria yang jujur, amanah, dan kaya. Kisah cinta Zainab dan Abdul Ash terbilang rumit.
Semuanya berawal ketika Rasulullah SAW menerima wahyu kenabian. Saat Zainab memberitahu Abdul Ash mengenai wahyu tersebut, ia menolak untuk beriman dan tetap pada kemusyrikannya. Meskipun hal ini menyakitkan, Zainab tetap menghargai keputusan suaminya.
Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah bersama para pengikutnya, Zainab tetap tinggal di Mekkah bersama suaminya. Ia merupakan satu-satunya muslimah yang tinggal bersama kaum kafir Quraisy di Mekkah.
Tak lama kemudian, terjadi perang antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy yang disebut Perang Badar. Abdul Ash pun ikut berperang melawan kaum muslimin. Peperangan ini dimenangkan oleh kaum muslimin dan Abdul Ash menjadi tawanan.
Zainab sangat khawatir akan keadaan suaminya dan mengirimkan seseorang untuk menebus Abdul Ash dengan uang dan kalung pemberian ibundanya, Khadijah binti Khuwailid.
Rasulullah SAW yang mengetahui hal tersebut sedih dan menangis, dan membebaskan Abdul Ash dari tawanan dengan syarat untuk mengembalikan putrinya, Zainab.
Abdul Ash pun menyetujui permintaan Rasulullah SAW dan menyampaikannya pada Zainab. Dengan berat hati, Zainab harus meninggalkan suaminya.
Saat dalam perjalanan ke Madinah, orang-orang Quraisy menyerang Zainab sehingga ia jatuh dari untanya dan perutnya terbentur sebuah batu yang menyebabkan keguguran. Sejak saat itu, kesehatan Zainab menurun.
Setelah beberapa tahun kemudian, Abdul Ash menyusul istrinya ke Madinah, dan menyatakan bahwa ia telah masuk Islam. Rasulullah SAW sangat senang dan menerima kembali Abdul Ash sebagai menantunya.
Zainab dan Abdul Ash pun bersatu kembali. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Kesehatan Zainab semakin memburuk.
Zainab mengembuskan napas terakhirnya pada tahun ke-8 Hijriah. Abdul Ash sangat terpukul. Ia baru saja mendapatkan kembali istrinya, namun ia harus kehilangan untuk selamanya. []Nur Laila Fithriani