Eling, Nilai Budaya dalam Filsafat Jawa, Begini Penjelasannya!

Ilustrasi budaya Indonesia yang beragam (ideogram.ai – almuhtada.org)

almuhtada.org – Manusia memiliki kecenderungan untuk berkomunitas. Ketika berbagai individu mengelompok mengidentifikasi dirinya sebagai satu, mereka membentuk nilai-nilai menjadi ciri khas mereka yang menjadikan mereka adalah mereka.

Ciri khas itu dinamakan budaya.

Kebudayaan beragam bentuknya, tidak selamanya merupakan kesenian eksotis minim rekognisi yang memerlukan preservasi (ketika dikatakan demikian, tidak menurunkan kepentingan melestarikannya).

Dewasa ini, pemahaman keliru tersebut tersusun bersisian dengan kemajuan zaman yang memberikan kesan membosankan (kuno) terhadap budaya.

Hal ini mempernyatakan urgensi untuk mempertahankan budaya mengingat ia adalah identitas yang memberikan makna terhadap diri sehingga menjadi eksis.

Terlebih budaya inilah yang mengantarkan suatu masyarakat menjadi berperadaban ketika budaya yang menjadi identitas mereka lestari.

Bentuk budaya sendiri tidak selalu mawujud, ia bisa berupa jalan hidup yang dipraktikkan.

Indonesia sendiri terdiri atas bangsa-bangsa dan oleh sebab itu dalam pembentuknya diperlukan penyatuan nilai yang merepresentasikan keseluruhan bangsa yang menduduki dan diakui sebagai masyarakatnya.

Nilai-nilai tersebut adalah pancasila.

Dalam skala yang lebih kecil, nilai yang menjadi signified daripada suatu kelompok masyarakat adalah konsep eling yang merupakan sikap batin masyarakat Jawa, yang mana pembahasan mengenai budaya ini adalah pengantar yang disusun penulis untuk membahasnya: eling.

Eling berdimensi luas ketika diletakan dalam realitas masyarakat Jawa.

Pemahaman terhadapanya, secara sederhana yang mana belum memotret kedalamannya, dapat dilihat dari artinya dalam bahasa yang direpresentasikan dengan kata ‘ingat’ atau ‘sadar’.

Baca Juga:  Kamu Harus Tahu! Salah Satu Perang Ini Diabadikan Allah dalam Al-Qur’an

Untuk memahami keseluruhan pemahaman perlu dimaknai bahwasanya konsep eling berlaku dalam penghayatan religi, kehidupan sosial, dan pelaksanaan norma etika sebagai kemampuan jiwa, karena pada dasarnya itu merupakan jati diri yang dipengaruhi oleh pemahamannya dalam menghubungkan pengalaman dulu dan pengalaman masa kini, yang memberikan kesadaran atas keberlanjutan dalam eksistensinya.

Pemahaman penuh inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran akan konsekuensi perbuatan dan tanggung jawab pribadi.

Dalam pelaksanaan norma, konsep ini berkaitan dalam pengendalian diri dimana seseorang membatasi dirinya dalam penghayatan emosi (sedih, marah, kecewa, dsb) sehingga segala bentuk tindakan didasari atas kesadaran dan tidak semata sebagai pemenuhan nafsu emosi (pembatasan penghayatan yang dimaksud dibatasi dalam jangkauan pembuatan keputusan).

Kemudian, sebagai tahap penghayatan religi, di mana itu menganut fitrah manusia sebagai makhluk yang bersifat baik (jernih) yang mana akan senantiasa mengajak eling ketika kejernihannya dilanggar.

Sehingga di sini, eling merupakan keadaan sadar terhadap apa yang diperbuat dalam batasan kebaikan.

Kesimpulannya, eling dalam kebudayaan Jawa bukan sekadar sinonim dari “ingat” atau “sadar”, melainkan sebuah kesadaran batin yang meresap ke seluruh dimensi hidup: sosial, etis, dan spiritual.

Ia bekerja sebagai penuntun halus yang menghubungkan pengalaman lampau dengan tindakan masa kini, sehingga seseorang mampu memahami konsekuensi dari setiap pilihan.

Dalam ruang sosial, eling menjadi dasar pengendalian diri, memungkinkan seseorang meredam gejolak emosi agar keputusan yang diambil lahir dari kejernihan, bukan dari dorongan sesaat.

Baca Juga:  Peran Agama dalam Kegidupan Masyarakat

Dalam ranah religi, eling meneguhkan fitrah manusia sebagai makhluk yang condong pada kebaikan, yang selalu diingatkan oleh kejernihan hati ketika ia menyimpang.

Dengan demikian, eling adalah inti dari jati diri masyarakat Jawa: suatu keutuhan kesadaran yang membentuk perilaku, nilai, dan tanggung jawab pribadi dalam kehidupan sehari-hari. []Muhammad Irbad Syariyah

Related Posts

Latest Post