Almuhtada.org – Apakah kamu pernah merasakan jatuh cinta? Artikel ini ditulis untuk kamu yang sering bimbang ketika harus mengambil sikap, bertahan dalam perasaanmu, memendamnya, atau justru menatanya secara lebih dewasa.
Banyak orang ingin “menjaga” sesuatu yang mereka anggap berharga, tetapi tidak semua orang tahu bagaimana caranya menjaga cinta tanpa terjebak drama internal dan fantasi yang mereka pelihara sendiri.
Konsep mencintai dalam diam adalah salah satu fenomena yang paling sering dianggap mulia. Ia terlihat lembut, romantis, dan aman.
Seseorang merasa cukup menyukai tanpa harus bergerak, tanpa perlu tanggung jawab, tanpa risiko terluka.
Namun, jika dipikirkan lebih dalam, justru di situlah letak problemnya.
Mencintai dalam diam seringkali bukan pilihan spiritual, melainkan strategi bertahan yang dibungkus perasaan suci.
Padahal manusia selalu berubah baik dari lingkungan sosial, pertemanan, prioritas, semuanya bergerak.
Perasaan yang diam tidak selalu mampu mengikuti perubahan itu.
Risikonya jelas. Di satu sisi, mencintai dalam diam mudah berubah menjadi obsesi sepihak.
Ada kecenderungan FOM atau takut kehilangan, takut didahului orang lain, takut orang itu berpindah hati.
Namun ketakutan itu tidak pernah diterjemahkan menjadi langkah konkret.
Di sisi lain, diam membuat seseorang menunda komunikasi yang sehat, seolah menahan diri adalah bentuk kesetiaan. Padahal tanpa progres, diam hanya memelihara ilusi.
Berbeda dengan itu, menjaga dalam diam adalah konsep yang sering digunakan oleh komunitas yang menamakan dirinya JOFILA (Jomblo Fii Sabilillah).
Berbeda dari narasi “memendam perasaan”, menjaga dalam diam bukan tentang menahan rasa, tetapi menata diri.
Ia berarti memperbaiki kapasitas diri, menyiapkan masa depan, dan menguatkan visi.
Diamnya bukan pasif, tetapi membangun.
Ada gerakan yang tidak diunggah ke sosial media: memperbaiki akhlak, merapikan rencana hidup, atau belajar mengelola emosi.
Diam ini bukan bentuk pengecut, tetapi bentuk tanggung jawab.
Namun tetap ada alarm yang perlu diperhatikan. Tidak semua diam itu sehat.
Banyak orang mengira diam itu pilihan paling benar, tetapi justru membawa diri mereka ke overthinking.
Ketika diam membuatmu mengabaikan relasi keluargamu, kesiapan mental, atau stabilitas finansialmu, maka diam itu sudah merusak.
Lebih parah lagi jika diam diberi label “syar’i” hanya untuk menutupi rasa takut menghadapi kenyataan.
Diam semacam ini tidak mendewasakan, justru mendistorsi cara seseorang melihat hubungan.
Karena itu, diam harus beralasan.
Pertama, diam yang sehat tidak mengejar validasi.
Ia tidak berharap diam itu diamati oleh seseorang sebagai bukti kesetiaan tersembunyi.
Kedua, diam harus fokus memperbaiki diri, bukan melarikan diri dari kenyataan.
Ketiga, diam harus membuka ruang menuju kedewasaan, termasuk kemungkinan untuk melangkah ke tahap yang lebih serius: komunikasi baik-baik, melibatkan keluarga, atau justru mengambil keputusan untuk melepaskan.
Pada akhirnya, menjaga dalam diam bukan soal menahan perasaan, tetapi tentang membangun kapasitas untuk mencintai dengan cara yang lebih matang.
Diam yang benar bukan penghambat langkah, melainkan proses internal untuk menyiapkan diri.
Menjaga dalam diam adalah latihan kedewasaan dan kedewasaan selalu menuntut kejujuran pada diri sendiri.[]Lailia Lutfi Fathin











