Almuhtada.org – Gotong royong sering disebut sebagai “roh” kebersamaan bangsa Indonesia.
Ia bukan sekadar tradisi membantu tetangga ketika ada hajatan atau membersihkan lingkungan, tetapi sebuah nilai luhur yang sudah hidup sejak nenek moyang jauh sebelum Indonesia mengenal aksara.
Pada masa pra-aksara, gotong royong muncul dari kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, membuka lahan, membangun rumah, atau mengerjakan pekerjaan berat yang mustahil dilakukan seorang diri.
Nilai ini terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Seiring masuknya berbagai pengaruh budaya dan agama, gotong royong pun bertransformasi.
Pada masa Hindu-Buddha, misalnya, kerja bersama muncul dalam pembangunan candi, kuil, atau tempat peribadatan.
Namun ketika era kolonial datang, semangat mulia ini justru diubah untuk kepentingan penjajah.
Gotong royong berubah menjadi kerja paksa yang menghilangkan nilai ikhlas dan solidaritas.
Meski begitu, setelah Indonesia merdeka, makna gotong royong kembali direstorasi sebagai identitas budaya bangsa.
Bagaimana dalam Perspektif Islam?
Menariknya, ajaran Islam yang kemudian menyebar ke Nusantara tidak mematikan tradisi gotong royong, tetapi justru menguatkannya.
Dalam Islam, konsep gotong royong sangat dekat dengan nilai ta’awun (tolong-menolong) dan ukhuwah (persaudaraan).
Al-Qur’an menegaskan:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa…” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Ayat ini menjadi landasan kuat bahwa kerja bersama bukan hanya budaya, tetapi juga ibadah sosial.
Karena itu, ketika Islam menyebar, budaya gotong royong tidak dianggap sebagai tradisi lokal yang bertentangan agama, tetapi justru selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan Nabi.
Bahkan Rasulullah saw. mencontohkan gotong royong secara langsung.
Ketika membangun Masjid Nabawi, beliau ikut mengangkat batu bersama para sahabat.
Dalam banyak peristiwa, seperti saat membantu sahabat yang mengalami kesulitan atau saat mempersiapkan perang, gotong royong menjadi bagian dari praktik hidup umat Islam.
Walaupun satu nilai, bentuk gotong royong di Indonesia sangat beragam.
Setiap daerah memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan kebersamaan.
1. Marakka’ Bola (Bugis, Sulawesi Selatan)
Tradisi memindahkan rumah secara massal.
Puluhan hingga ratusan warga mengangkat rumah kayu bersama-sama untuk ditempatkan di lokasi baru yang lebih aman.
Tidak ada bayaran, yang ada hanyalah solidaritas.
2. Sinoman (Jawa)
Anak-anak muda menjadi sukarelawan dalam hajatan, terutama pernikahan.
Mereka menyuguhkan makanan dan membantu kelancaran acara.
Budaya ini memperkuat ikatan sosial antarwarga.
3. Nganggung (Bangka)
Masyarakat membawa makanan dalam tudung saji besar ke masjid pada momen tertentu seperti Ramadan atau hari besar Islam.
Semua makanan dikumpulkan lalu dinikmati bersama-sama.
Tradisi-tradisi ini menunjukkan bahwa gotong royong bukan hanya kerja fisik, tetapi juga bentuk kepedulian sosial. [] Raffi Wizdaan Albari











