almuhtada.org – Setiap dari kita pasti pernah melakukan kesalahan baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Namun, tidak semua dosa bisa dihapus hanya dengan istighfar. Dosa kepada Allah bisa diampuni dengan taubat, tetapi dosa yang menyangkut hak manusia (ḥaqq al-ʿadamiyy) tidak bisa terhapus sampai orang yang disakiti memaafkan.
Asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah dalam penjelasannya atas kitab Sullam at-Taufīq karya Al-Habib ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawi, menjelaskan bahwa dosa terhadap sesama manusia yang bersifat non-harta terbagi menjadi dua yaitu dosa terhadap badan dan dosa terhadap hati.
Dosa terhadap badan misalnya memukul, melukai, atau menyakiti fisik seseorang. Sedangkan dosa terhadap hati meliputi hal-hal seperti mengumpat, menghina, menjelekkan, atau merendahkan orang lain.
Mari kita renungkan, betapa seringnya kita menyinggung perasaan orang lain tanpa sadar. Kadang dengan candaan, sindiran, atau bahkan sekadar ucapan yang tak kita pikirkan dalam obrolan ringan. Padahal setiap luka yang kita tinggalkan di hati orang lain adalah tanggungan yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah. Rasulullah bersabda,
Barang siapa pernah berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, hendaknya meminta orang tersebut menghalalkan dirinya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki amal shaleh, maka akan diambil amal shaleh darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya. Apabila tidak memiliki amal shaleh, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya [HR. al-Bukhâri no. 2269].
Namun, bagaimana jika orang yang pernah kita sakiti sudah jauh, tidak diketahui keberadaannya, atau bahkan telah meninggal dunia? Menurut penjelasan Syaikh Nawawi, bila meminta maaf secara langsung tidak mungkin dilakukan, maka seseorang hendaknya merendahkan diri di hadapan Allah, berdoa untuk orang yang pernah ia zalimi, dan bersedekah atas nama orang tersebut.
Langkah ini bukan sekadar formalitas, tapi bentuk kesungguhan hati untuk memperbaiki hubungan, baik dengan Allah maupun dengan manusia. Sebab, taubat sejati tidak hanya memperbaiki hubungan vertikal dengan Rabb nya, tapi juga hubungan horizontal dengan sesama hamba. Betapa indah jika kita bisa hidup tanpa membawa beban dosa dari orang lain. Karena pada hari kiamat nanti, orang yang dizalimi akan mengambil kebaikan orang yang menzalimi. Bahkan andai kebaikannya habis, maka dosa orang yang dizalimi akan dipindahkan kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.
Itulah mengapa para ulama mengingatkan: jangan anggap ringan menyakiti sesama, sekecil apa pun itu. Sebab luka hati tak selalu sembuh dengan waktu, tapi bisa disembuhkan dengan keikhlasan dan permintaan maaf.
﴿إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ﴾
Aritunya : “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Mari kita renungkan, sebelum ajal datang, sebelum penyesalan tiba. Mungkin masih ada nama-nama yang perlu kita datangi untuk meminta maaf, atau orang-orang yang diam-diam pernah kita sakiti. Tidak ada yang lebih menenangkan daripada berdamai dengan sesama dan kembali bersih di hadapan Allah. Semoga Allah menerima taubat kita, melunakkan hati kita untuk meminta maaf, dan menenangkan hati mereka yang telah kita sakiti.
Penulis: [Fitri Novita Sari]










