almuhtada.org – Sadarkah selama ini atas yang kita lakukan mulai dari belajar dari jenjang TK sampai dengan kuliah sekarang ini, kemudian menulis, meneliti, dan juga berdiskusi setiap hari. Namun di balik semua itu, coba tanyakan kepada diri kita masing-masing apakah kita sedang membangun sesuatu yang abadi, atau sekadar berlari mengejar sesuatu tanpa arah?, jawab dalam hati kita masing-masing.
Ada sebuah rahasia besar yang Rasulullah Saw. ajarkan mengenai amal yang tak akan pernah padam bahkan setelah tubuh kita menjadi tanah kembali:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Jadi tiga amal di atas bagaikan seperti tiga sungai yang terus akan selalu mengalir setelah jasad kita berhenti bergerak.
Eits, namun di antara ketiganya, maka ada satu yang sangat istimewa yaitu yang namanya “ilmu”, karena ia tidak butuh faktor dari luar apa pun itu untuk terus hidup.
Karena sejatinya ilmu itu tidak menunggu doa, kemudian ilmu itu tidak menunggu harta, dan juga ilmu tidak menunggu keturunan. Ilmu itu hidup selama masih ada hati kita yang menyimpannya dengan mengingat-ingatnya dan kemudian mengamalkannya.
Ilmu Menjadi Nafas Panjang Setelah Kematian
Ilmu sejatinya menjadi napas kedua kita sebagai seorang manusia setelah kematian. Saat harta kita habis, kemudian doa bisa jadi lupa untuk dipanjatan, akan tetapi ilmu yang bermanfaat tetap bekerja walau diri kita sudah tidak lagi hidup di dunia ini.
Sebagai contoh sederhananya seperti api kecil di sebuah lentera yang kita tinggalkan di dalam gelapnya malam, yang kemudian dinyalakan berulang-ulang oleh orang-orang setelah kita.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman:
“Perumpamaan (ilmu) yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya setiap waktu dengan izin Tuhannya.” (QS. Ibrahim: 24–25)
Maka dari itu Ilmu menjadi pohon kehidupan yang tumbuh bukan di hati yang penuh akan ambisi saja, akan tetapi di hati yang tulus ikhlas dan juga penuh dengan kasih sayang yang menembus batas waktu.
Faktor X dalam Amal Jariyah
Okey mari kita renungi sejenak sekarang, yang namanya sedekah jariyah itu memerlukan faktor X yaitu harta, kemudian anak saleh juga memerlukan faktor x yaitu keturunan dan doa, sedangkan ilmu hanya memerlukan faktor diri kita sendiri dengan kesungguhan dalam belajar menuntut ilmu dan kemudian mengajarkannya kembali.
Ilmu itu keabadian yang tidak diwariskan lewat darah, melainkan lewat cahaya pemahaman.
Ketika kita menulis satu kalimat kebaikan, mungkin saat itu kita tidak menyadari bahwa kalimat itu bisa mengubah arah hidup seseorang.
Bukankah indah jika hidup kita kelak dikenang bukan karena pangkat, tetapi karena satu pelajaran yang menyalakan jiwa banyak orang?
Menjadi Cahaya Ilmu di Dunia yang Gelap
Di tengah kehidupan dunia yang serba modern ini, kadang diri kita ini merasa lupa bahwa ilmu bukan hanya sekadar alat untuk berkompetisi dengan angka dan prestasi semata, akan tetapi cara untuk menyebarkan rahmat kasih sayang Allah Swt.
Karena sejatinya, Allah Swt. tidak menilai seberapa banyak ilmu yang kita miliki dan kita pahami, melainkan seberapa banyak ilmu itu menghidupkan hati kita untuk sesama manusia.
Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Oleh karena itu Ilmu yang bermanfaat tidak hanya selalu berwujud dalam bentuk buku tebal atau karya ilmiah saja, kadang ia bisa dari hal-hal yang sederhana seperti senyuman, sikap saling nasihat dalam kebaikan dengan penuh kellembut, atau tulisan kecil nan sederhana yang membuat seseorang tidak putus asa.
Penutup
Kita semua sekarang ini sedang menulis “kitab amal” kita masing-masing, setiap harinya.
Mungkin sebagian dari kita menulis dengan tinta pena penuh dengan perjuangan, sebagian lagi dengan air mata dengan dalamnya keikhlasan.
Namun hanya orang yang menulis dengan niat untuk memberi manfaat karena Allah Swt., yang tulisannya akan terus dibaca bahkan setelah orang itu tiada.
Baiklah maka, mari kita mulai dari sekarang. Tanamkan dalam-dalam dalam hati kita bahwa tidak perlu menunggu kaya untuk kita bisa bersedekah, kemudian tidak perlu menunggu punya anak untuk mendapat doa.
Cukuplah kita mulai detik ini niatkan dalam hati untuk belajar dengan sungguh-sungguh, lalu menyalakan cahaya ilmu agar generasi setelah kita tidak berjalan dalam kegelapan kembali, semoga bermanfaat. [] Alfian Hidayat – Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada Angkatan 5











