almuhtada.org – Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga menjelaskan hakikat diri manusia secara mendalam.
Salah satu surah yang menyinggung aspek kejiwaan manusia adalah Surah Asy-Syams ayat 7–10, yang berbunyi:
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ ٧فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ ٨قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ ٩وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ ١٠
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. (QS. Asy-Syams [91]: 7-10)
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi ganda antara kecenderungan menuju kebaikan (taqwa) dan keburukan (fujur). Pandangan ini memiliki relevansi kuat dengan konsep-konsep dasar dalam psikologi modern, terutama tentang kepribadian, motivasi, dan pengendalian diri.
Makna Ayat Secara Teologis
Allah menegaskan bahwa jiwa manusia (an-nafs) telah diciptakan dengan sempurna dan diberi kemampuan mengenali nilai baik dan buruk. Ini berarti manusia memiliki fitrah moral dan kebebasan memilih.
Ayat 9-10 menekankan bahwa keberuntungan sejati adalah milik mereka yang menyucikan jiwanya, sedangkan kerugian menimpa mereka yang mengotorinya dengan dosa dan hawa nafsu.
Relevansi dengan Psikologi
- Konsep Jiwa (An-Nafs) dan Kepribadian
Dalam Islam, nafs mencakup pikiran, perasaan, dan kesadaran diri. Dalam psikologi, ini sejalan dengan konsep kepribadian (personality). Tokoh Psikologi bernama Sigmund Freud misalnya, membagi struktur kepribadian menjadi id, ego, dan superego, yang dapat dibandingkan dengan konsep Islam:
Nafs ammarah → dorongan kejahatan (id)
Nafs lawwamah → pengendali moral (ego)
Nafs muthmainnah → jiwa tenang dan bermoral (superego)
2. Self-Control dan Moral Awareness
Ayat “fa alhamahā fujūrahā wa taqwāhā” menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan mengenali baik dan buruk. Ini berkaitan dengan self-regulation dalam psikologi, yaitu kemampuan mengatur dorongan dan perilaku agar sesuai dengan nilai moral.
3. Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental
Ayat “qad aflaha man zakkāhā” menekankan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs). Dalam psikologi, ini mirip dengan self-healing atau psychological growth: membersihkan diri dari emosi negatif, menumbuhkan empati, dan mengembangkan keikhlasan serta rasa syukur.
Implikasi dalam Kehidupan Modern
Asy-Syams (91): 7–10 mengajarkan bahwa solusi stres dan kekosongan batin bukan hanya terapi luar, tetapi juga terapi spiritual. Dengan memahami potensi jiwa, mengendalikan nafsu, dan mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikir dan introspeksi, seseorang dapat mencapai keseimbangan psikologis dan spiritual.
Ayat ini memberikan dasar penting bagi psikologi Islami, karena membahas hakikat jiwa, potensi moral, dan proses penyucian diri. Kesimpulan utama:
- Manusia memiliki potensi baik dan buruk yang harus dikelola.
- Ketenangan jiwa diperoleh melalui penyucian hati.
- Keberhasilan sejati adalah ketika manusia mampu menundukkan nafsu dan mendekat kepada Allah.
Dengan demikian, Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk iman, tetapi juga sumber prinsip-prinsip psikologi spiritual yang menuntun manusia menuju kesehatan mental dan keseimbangan hidup.
Bahkan, Al-Qur’an merupakan sumber utama dari berbagai bidang keilmuan yang sangat relevan bagi seluruh umat manusia.[] Muhammad Fadli Noor