Almuhtada.org – Islam mengatur dengan jelas kehalalan dan keharaman dalam makanan maupun minuman. Salah satu yang diharamkan adalah babi yang dihukumi sebagai najis besar. Menurut Ensiklopedia Fikih Indonesia Taharah karya Ahmad Sarwat, syariat melarang seorang muslim mengonsumsi benda najis, baik berupa makanan maupun minuman.
Keharaman tersebut menjadi kriteria utama dalam menentukan makanan haram.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Mayoritas ulama menafsirkan penyebutan daging babi dalam ayat tersebut sebagai majas mursal, yakni penyebutan sebagian yang bermakna keseluruhan. Dengan demikian, tidak hanya dagingnya saja, melainkan seluruh bagian tubuh babi dinyatakan haram.
Apabila alat makan atau peralatan masak pernah digunakan untuk mengolah daging babi, maka alat tersebut ikut dihukumi najis. Jika alat itu kemudian dipakai untuk makanan halal, maka makanan tersebut berubah status menjadi najis dan haram dikonsumsi. Oleh karena itu, peralatan yang terkena babi wajib disucikan terlebih dahulu sebelum digunakan kembali untuk makanan halal.
Buya Yahya dalam ceramahnya menjelaskan bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan memakai alat makan yang jelas-jelas telah digunakan untuk mengolah sesuatu yang haram. Hal ini berlaku ketika ia menyaksikan langsung peralatan tersebut terkontaminasi.
“Jika wadah itu dalam dugaan kuat Anda atau bahkan Anda tahu wajan untuk menggorengnya (digunakan) goreng babi dan goreng ayam ya itu haram Anda gunakan, nggak boleh karena Anda melihatnya. Anda tahu,” terang Buya Yahya melalui kanal YouTube Al Bahjah TV.
Namun, jika seseorang tidak mengetahui secara nyata apa yang terjadi di dapur, maka tidak mengapa menggunakan peralatan tersebut. Islam memberikan kemudahan dalam hal ini.
“Islam tuh mudah. Kecuali Anda memang tahu, Anda memang hidup di tempat tersebut, Anda tidak boleh menggunakan piringnya,” jelasnya.
Buya Yahya juga menegaskan, apabila tidak melihat dengan nyata, seorang muslim tidak perlu terjebak pada prasangka berlebihan atau sikap was-was yang justru membuat hidup sengsara.
“Nggak usah ragu-ragu. Jadi kalau memang Anda betul melihat piringnya dipakai untuk babi dan tidak dicuci dengan benar, Anda tidak boleh pakai. Kalau tidak melihat dengan nyata kita tidak dianjurkan untuk menyeleksi dengan detail (dan) menjadikan hidup sengsara.”
Kesimpulannya, alat makan yang terkena najis seperti babi wajib disucikan sebelum digunakan kembali. Selama tidak ada bukti nyata terjadinya kontaminasi, seorang muslim boleh menggunakannya tanpa perlu was-was. [] Risqie Nur Salsabila Ilman