Almuhtada.org – Nuruddin Ar-Raniry, atau Nur Al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Ar-Raniry, lahir di Ranir (Rander), dekat Surat, Gujarat, India. Nama “Ar-Raniry” berasal dari tempat kelahirannya. Dia berasal dari keluarga sufi dan ulama dengan latar belakang India-Arab.
Nenek moyangnya diyakini berasal dari keluarga Al-Hamid yang terhubung dengan Quraiys, dan Ar-Raniry sendiri diyakini keturunan Al-Asadi Al-Humaydi, seorang ulama terkenal dari Mekkah.Keluarga Ar-Raniry memiliki hubungan baik dengan orang Melayu, terutama dengan Kerajaan Aceh.
Ia memulai pendidikan agama di tempat kelahirannya, kemudian melanjutkan ke Tarim dan pergi ke Mekkah untuk berhaji dan ziarah ke makam Nabi Muhammad pada tahun 1621 M. Ada berbagai pendapat mengenai kapan Ar-Raniry datang ke Aceh,
Tetapi Ahmad Daudy mencatat bahwa dia tiba di Aceh pada 31 Mei 1631.Kedatangan Ar-Raniry di Aceh tidak berjalan mulus. Iskandar Muda, sultan Aceh saat itu, diduga kurang menerima Ar-Raniry karena dia membawa ajaran yang menentang paham Wujudiyyah.
Karena situasi yang kurang mendukung,Ar-Raniry memilih untuk pindah dan tinggal di Pahang di bawah Sultan Ahmad selama beberapa tahun. Namun, pada tahun 1637, ia memutuskan untuk kembali ke Aceh, yang kini dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani.
Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang syaikh Tariqat Rifa’iyyah dan ulama yang berpegang pada syariat Islam secara menyeluruh. Ia sangat berpengaruh di Aceh dan dikenal sebagai sufi yang kaku dan ortodoks, meskipun dia juga cerdas dan bijak.
Ar-Raniry berhasil menjelaskan banyak ajaran yang salah dari paham Wujudiyyah dan menghasilkan banyak karya di berbagai bidang, seperti tauhid, tasawuf, fikih, dan sejarah Aceh.
Dalam pemikirannya, Ar-Raniry percaya bahwa manusia dan Tuhan memiliki satu hakikat, dan alam diciptakan Allah melalui tajalli. Ia melihat manusia sebagai makhluk paling sempurna yang ditunjuk sebagai khalifah di bumi. Ar-Raniry juga menentang ajaran Wujudiyyah yang berpusat pada wahdat al-wujud.
Beberapa karya terkenalnya antara lain:
– Lathif al-Asrar: membahas ilmu tasawuf dalam bahasa Melayu.
– Nubdzah fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih: tanya-jawab tentang kesesatan Wujudiyyah.
– Asrâr al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân: membahas manusia dan Tuhan.
– Hill azh-Zhill: menentang ajaran Wujudiyyah.
– Fath al-Mubîn ‘ala al-mulhidin: bantahan terhadap ajaran ateis.
– Syifa’al-Qulub an at-Tasawwuf**: membahas kalimah syahadat dan zikir.
Ar-Raniry juga terkenal karena polemiknya melawan Hamzah Fansuri dan murid-muridnya. Ia menolak paham Wujudiyyah karena menganggapnya berasal dari panteisme Ibnu Arabi. Beberapa poin penolakan Ar-Raniry meliputi:
– Ia percaya bahwa Tuhan tidak dapat disamakan dengan makhluk.
– Menurutnya, nyawa adalah makhluk yang baru diciptakan oleh Allah
.- Ia berpendapat bahwa orang yang menganggap Al-Qur’an adalah makhluk adalah kafir.- Ar-Raniry menekankan bahwa manusia dan amalnya adalah milik Allah, yang tidak dapat bersatu dengan Tuhan yang Maha Ada.
Dengan pemikiran dan karyanya, Nuruddin Ar-Raniry memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam di Aceh dan wilayah sekitarnya.[] Azizah Fiqriyatul Mujahidah
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah