Dampak Dopamin Gratis dari Media Sosial pada Pola Belajar Siswa di Indonesia

Ilustrasi kumpulan notifikasi dan video singkat media sosial (Freepik.com – almuhtada.org)

Almuhtada.org – Sebelum masuk pada bahasan utama, terlebih dahulu kita ketahui berapa banyak pengguna media sosial di Indonesia.

Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2023, ada sekitar 212,9 juta orang di Indonesia yang aktif memakai internet. Berdasarkan jumlah tersebut, sekitar 167 juta atau 60,4 persen penduduk menggunakan setidaknya satu platform media sosial. Ini artinya media sosial bukan barang langka, bahkan mayoritas masyarakat (termasuk pelajar) terpapar terus-menerus.

Data BPS yang juga hasil Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2023 juga menunjukkan bahwa di kalangan peserta didik usia 5–24 tahun, penggunaan internet didominasi oleh hiburan (86,65%), media sosial (66,68%), dan hanya sekitar 27,46% yang disebut menggunakan internet untuk tujuan pembelajaran. Jadi ya, peluang “dopamin gratis” lewat scroll, like, chat, atau video pendek sangat besar.

 Dopamin Gratis vs Motivasi dan Konsentrasi Belajar

Kalau media sosial dipakai dengan tepat, ada sisi positifnya.

Sebuah studi menemukan bahwa penggunaan media sosial seperti WhatsApp, Instagram, YouTube, atau TikTok bisa membantu motivasi belajar, memudahkan akses informasi, dan menstimulasi kreativitas serta kolaborasi antar siswa.  Tapi… ada sisi gelapnya juga.

Ketika penggunaan media sosial terlalu intens, banyak siswa mengalami gangguan konsentrasi, kehilangan fokus saat belajar, bahkan motivasi bisa turun.

Contoh: di sebuah penelitian pada siswa SMK, intensitas penggunaan media sosial dikaitkan dengan karakter belajar yang melemah. Artinya, bukan cuma perhatian terganggu, tetapi kebiasaan belajar juga bisa ikut rusak.

Baca Juga:  Reading as a Habit

Selain itu, ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial bisa berdampak negatif ke motivasi dan hasil belajar siswa.

Kenapa “Gratis” itu Justru Bikin Rugi

Dopamin dari notifikasi, like, atau konten menarik membuat otak cepat “kecanduan”.

Ketika sensasi itu mudah diperoleh, usaha untuk fokus belajar terasa membosankan. Akhirnya otak “memilih” hiburan, konflik internal antara keinginan jadi pintar vs keinginan langsung senang.

Tambahkan fakta bahwa sebagian besar siswa justru menggunakan internet untuk hiburan (~86%) bukan belajar (~27%), maka pola belajar jadi seperti korban “scroll sesaat” yang berulang: belajar terganggu, tugas tertunda, konsentrasi buyar.

Kalau dibiarkan terus-menerus, bukan cuma belajar jadi rapuh; kebiasaan belajar bertahap bisa tergantikan oleh kebiasaan “cek medsos dulu”. Hal ini menjadi jebakan, media sosial bukan cuma gangguan temporal, ia merusak struktur kebiasaan belajar jangka panjang.

Ini Bukan Cuma Moral-Story: Data dari Pelajar Nyata

Dalam penelitian pada siswa SMA di Probolinggo, penggunaan media sosial dikaitkan dengan penurunan motivasi belajar IPS dan munculnya perilaku menyimpang.

Sedangkan di SMK Jakarta, survei menunjukkan bahwa banyak siswa merasakan dampak negatif: penurunan fokus, tugas tertunda, dan penurunan kualitas belajar.

Sisi lain: penelitian menunjukkan bahwa potensi positif media sosial tetap ada, jika digunakan sebagai alat bantu belajar atau kolaborasi, bukan ruang hiburan tak berujung.

Baca Juga:  Komik Sebagai Media Pembelajaran Anak

Media Sosial itu Pisau: Bisa Potong, Bisa Cidera

Media sosial itu seperti pisau bermata dua. Bila digunakan dengan bijak dan sadar, ia bisa jadi alat bantu belajar, akses cepat ke informasi, diskusi, kolaborasi, kreativitas.

Namun, begitu diperlakukan sebagai mesin dopamin gratis, hiburan tanpa batas, notifikasi nonstop, konten terus-menerus, maka dia malah merusak pola belajar: konsentrasi buyar, motivasi melemah, hasil belajar jeblok.

Kondisi di Indonesia memperlihatkan bahwa “hiburan & medsos” jauh lebih dominan daripada “internet untuk belajar” di kalangan pelajar.

Yang bikin gelisah: kita (mahasiswa/ pelajar/ orang tua/ guru) bisa saja terlalu santai melihat “hasil mediasi” media sosial, padahal secara halus “kecanduan dopamin” itu sedot energi dan potensi belajar.

Kalau kita serius ingin medium digital membantu pendidikan dan bukan menghancurkannya, maka kita perlu bijak: batasi waktu medsos, pakai internet untuk tujuan jelas (belajar, riset, kolaborasi), tidak hanya scroll tak berujung.

Jadikan media sosial sebagai alat bantu, bukan pelarian. Kalau kita gagal melakukannya, maka “gratis”-nya dopamin bisa berubah jadi utang besar bagi masa depan pembelajaran.[] Ikmal Setiawan

Related Posts

Latest Post