Mengapa Al-Qur’an Mengecam ‘Harta Haram’?

foto Uang berhamburan dalam kantong gelap (Freepik.com – almuhtada.org)

almuhtada.org – Pada hari ini, suap kecil dianggap sebagai uang rokok. Biaya tambahan bank disamarkan dengan alibi administrasi. Bahkan, pungutan liar menjadi kebiasaan yang tidak lagi memalukan.

Ketiga fenomena ini terasa biasa saja karena sudah menjadi bagian dari ritme sosial yang telah lama dibiarkan. Al-qur’an menawarkan satu istilah yang semestinya mampu membuat kita berhenti sejenak.

Satu istilah tersebut adalah as-suhtu (harta yang kotor). Istilah ini bukan sekadar larangan agama, tetapi kritik sosial yang tajam terhadap perilaku yang merusak tatanan masyarakat.

Secara sederhana, as-suhtu berarti harta yang diperoleh melalui cara-cara yang merusak keadilan. Seperti: suap, riba, manipulasi, penipuan, atau penggunaan kekuasaan secara tidak patut.

Para mufassir klasik mendefinisikannya sebagai “segala bentuk perolehan yang busuk dan mematikan rasa keadilan.”  Artinya, as-suhtu bukan hanya masalah halal–haram personal, melainkan fenomena sosial yang menular.

Begitu ia diterima sebagai kebiasaan, ia merusak struktur moral integritas seseorang.

As-suhtu adalah satu hobi yang dicela oleh al-qur’an.

Beberapa alasannya adalah; as-suhtu menghancurkan keadilan publik. Tindakan suap berdampak pada memutarbalikkan proses hukum dan keputusan secara administratitif.

Yang bersalah bisa bebas, yang benar bisa dikorbankan. Ketika kebenaran dapat dibeli, masyarakat kehilangan pijakan moral, dan hukum kehilangan wibawa.

Kedua, as-suhtu menciptakan ketimpangan yang tidak wajar.

Praktik riba predatoris, pungli, atau manipulasi ekonomi memperkaya segelintir orang dengan memeras banyak pihak yang lebih lemah. Ketimpangan yang lahir dari cara seperti ini bukanlah “hasil kerja keras”, tetapi hasil eksploitasi.

Baca Juga:  Salat: Inti dari Amal Kita

Dalam perspektif Al-Qur’an, eksploitasi semacam ini merupakan bentuk penindasan yang membusukkan struktur sosial dari dalam.

Ketiga, as-suhtu merusak integritas moral pelakunya.

Begitu seseorang terbiasa mengambil harta kotor, standar etikanya merosot. Perilaku lain ikut mundur: kebohongan menjadi biasa, manipulasi jadi strategi, dan rasa malu memudar.

Tidak mengherankan bila Al-Qur’an menggunakan metafora “memakan harta yang kotor” karena efeknya seperti racun yang perlahan menggerogoti karakter.

Relevansinya hari ini sangat nyata. As-suhtu bukan isu keagamaan semata, melainkan isu peradaban.

Negara mana pun yang mentolerir pungli, suap, dan riba predatoris akan mengalami penurunan kepercayaan publik, melemahnya institusi, dan melebar­nya ketimpangan ekonomi.

Al-Qur’an tidak sedang membuat generalisasi etnis.

Ia semestinya menunjukkan bagaimana sebuah komunitas runtuh ketika harta kotor menjadi budaya.

Begitu sebuah masyarakat membiarkan suap dianggap wajar dan pungli dianggap tradisi, proses kehancuran berlangsung pelan, tetapi pasti.

Konsep as-suht membantu kita membaca realitas modern: masalah korupsi bukan sekadar “pelanggaran hukum”, tetapi gejala penyakit moral yang mengikis fondasi masyarakat.

Larangan terhadap harta haram pada akhirnya adalah perlindungan sosial, bukan sekadar aturan ritual.

Setiap bentuk keburukan besar selalu dimulai dari keburukan kecil yang dibiarkan, dan as-suhtu adalah salah satunya; kecil untuk pelaku, tetapi mematikan bagi sebuah bangsa. []Lailia Lutfi Fathin

Related Posts

Latest Post