almuhtada.org – Demokrasi di Indonesia kerap dielu-elukan sebagai pencapaian besar reformasi. Konstitusi menyatakan pemerintahan dijalankan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Namun, kenyataan hari ini menunjukkan wajah lain: demokrasi sering hanya menjadi jargon kosong yang dikendalikan oleh segelintir elit demi kepentingan oligarki. Mereka hanya mementingkan perut serta gelamoran harta tetapi tak perduli dengan hasrat martabat amanah kosntitusi.
Robert A. Dahl dalam teorinya tentang polyarchy menekankan bahwa demokrasi sejati menuntut adanya partisipasi politik yang luas dan kompetisi yang adil. Namun, Indonesia masih jauh dari kondisi tersebut. Politik uang, kursi jabatan diperjualbelikan, dan manipulasi elektoral menjadi hal lumrah. Suara rakyat yang seharusnya menjadi fondasi kedaulatan, dibeli murah lalu dijadikan komoditas di panggung kekuasaan.
Demokrasi akhirnya kehilangan makna, karena rakyat dipaksa sekadar menjadi penonton yang suaranya tak benar-benar menentukan arah negara. Jeffrey A. Winters menyebut Indonesia sebagai negara dengan oligarchic power structure. Kekayaan dan kekuasaan terkonsentrasi pada sekelompok kecil elit yang memengaruhi kebijakan.
Hasilnya, rakyat bekerja keras menghasilkan keringat, sementara keuntungan ekonomi dan politik hanya mengalir ke perut oligarki. Dalam konteks ini, rakyat yang bekerja keras dengan keringat dan pajak justru hanya menjadi penyokong kehidupan mewah oligarki. Demokrasi bukan lagi alat distribusi kesejahteraan, melainkan alat legitimasi bagi segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaan. Rakyat hanya menjadi ornamen demokrasi, pajangan semu yang dipamerkan untuk menutupi kenyataan pahit.
Antonio Gramsci pernah menyatakan bahwa hegemoni politik berjalan bukan hanya dengan kekuasaan, tetapi juga dengan konsensus yang dipaksakan. Di Indonesia, represi aparat terhadap kritik rakyat, pembungkaman kebebasan berekspresi, dan kriminalisasi aktivis menunjukkan bahwa konsensus demokrasi lebih sering dipaksakan daripada lahir secara sehat.
Jadi menurut saya Demokrasi Indonesia kini berada pada paradoks: secara formal milik rakyat, tetapi secara substantif dikuasai elit. Dari keringat rakyat yang membiayai negara melalui pajak, oleh elit yang memegang kuasa politik, pada akhirnya hanya untuk mengenyangkan perut oligarki.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, demokrasi tak lebih dari panggung sandiwara yang mengorbankan rakyat dalam mimpi kosong. Bisa disimpulkan slogan dan lambang demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah ilusi belakang sekarang slogan demokrasi Indonesia dari Keringat Rakyat, oleh Elit, untuk Perut Oligarki (Muhammad Nadif)