almuhtada.org- Dulu, aku mengira bahwa kebahagiaan itu datang dari kehadiran orang lain. Dari tawa yang selalu dibagi, dari genggaman tangan saat sedih, dan dari pelukan hangat ketika dunia terkadang terasa begitu berat. Tapi, seiring berjalannya waktu, pelan-pelan belajar bahwa tidak semua hal itu bisa dibagi. Tidak semua orang bisa tinggal, dan tidak semua cerita itu butuh saksi.
Akhirnya, sampai sekarang ini aku bisa menemukan diriku berdiri sendiri. Diri ini yang melangkah tanpa bayangan siapa-siapa di samping. Mungkin, awalnya terasa berat. Seperti kita berada dalam kesunyian. Akan tetapi, dari kesunyian itu kita bisa memperoleh ketenangan. Hingga suatu saat terasadar bahwa ini bukan tentang sepi maupun sunyi, tapi tentang ruang.
Ruang untuk mengenali dan menerima diri sendiri. Ruang untuk berdamai dengan segala luka lama yang sering tertutup oleh ramainya keadaan. Untuk mengobati hati yang terluka, tidak harus dengan kehadiran orang lain. Luka itu bisa sembuh dari diri kita yang berusaha menyembuhkan lewat dalam, seperti lewat perantara ketenangan.
Hingga sampai suatu masa, aku tersadar bahwa ada ketenangan yang lahir dari tidak bergantung. Saat kamu tidak menunggu siapa-siapa lagi untuk membuatmu merasa berharga. Saat kamu merasa cukup, bahkan disaat kamu hanya merasa punya dirimu sendiri.
Ternyata, ada rasa lega aku bisa menepuk dadaku sendiri dan berkata, “kamu hebat, kamu sudah sampai sejauh ini ternyata, semangat terus ya, pasti bisa kok”. Sendiri itu bukan melulu tentang kekurangan. Ia bukan juga suatu tanda jikalau kamu gagal dicintai.
Terkadang, dengan kita sendiri, justru itu merupakan bentuk cinta yang paling jujur. Cinta dari dirimu, untuk dirimu sendiri tentunya. Sebuah bentuk pengakuan bahwa kamu itu pantas bahagia, tanpa sebuah syarat, dan tanpa penonton.
Dan kalau kamu bertanya padaku sekarang, apakah aku bahagia? Aku akan menjawab: ya. Aku bahagia, meskipun apa-apa sendiri. Karena aku tahu, aku tidak lagi mencari-cari sesuatu di luar untuk merasa utuh. Aku sudah punya semuanya di dalam. Sendiri bukan berarti sepi. Kadang, sendiri justru saat-saat paling penuh. [Mirzalul Umam]