Almuhtada.org – Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, dimana rahmat dan kasih sayang dari Allah selalu mengalir untuk setiap makhluk-Nya, selalu membawa penerangan untuk setiap kegelapan, dan berkah yang akan senantiasa mengalir untuk setiap suatu hal positif yang di lakukan dengan menyebut nam-Nya, insyaallah.
Hidup di dunia tentu pastinya berdampingan dengan makhluk Allah manusia. Tak bisa dipungkiri, kita tahu gesekan atau ketidaknyamanan pasti akan terjadi. Entah saat bersosialisasi dengan baik, apalagi bahkan saat bersosialisasi dengan tidak baik.
Kita tak pernah bisa memaksa seseorang untuk selalu mengerti. Kita juga tidak pernah bisa mengontrol cara orang lain bersikap kepada kita. Yang bisa kita lakukan adalah menata hati kita agar tidak mudah broken heart.
Memang bukanlah suatu hal yang mudah, ketika ada seseorang yang menyakiti hati kita. Islam sebagai agama yang senantiasa membawakan perdamaian, mengharuskan kita semua untuk saling maaf dan memaafkan.
Namun ketika pada suatu hal, seseorang teramat sangatlah menyakiti hati kita, lalu bagaimana kita menyikapinya? Apakah boleh kita memaafkan atas kesalahan seseorang, namun kita menjaga jarak atau menolak untuk bertemu?
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ketika perang Uhud, mendapati peristiwa tragis atas terbunuhnya paman beliau Hamzah bin Abdul Mutholib, singa-Nya Allah di tangan Wahsyi.
Ketika peristiwa fatkhu makkah, Wahsyi adalah salah satu diantara orang-orang yang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Kala itu Rasulullah meminta Wahsyi untuk menceritakan apa yang dilakukan Wahsyi atas tragisnya jasad pamannya, Hamzah binnn Abdul Mutahlib.
Dan Wahsyi pun menjelaskan, bahwa ia mengincar Hamzah bin Abdul Muthalib saat perang Uhud agar ia terbebas dari gelar “budak” yang dimilikinya. Ia menombak Hamzah bin Abdul Muthalib dan tepat mengenai perutnya.
Ketika itu Hindun, istri dari pembesar kafir Quraisy yang memerintahkannya pun mendatangi jenazah paman Nabi, dan kemudian membelah dadanya lalu memakan daripada jantungnya Hamzah bin Abdul Muthalib.
Dari cerita tersebut Rasulullah tak lantas murka, namun justru memafkan Wahsyi, karena Islam sendiri senantiasa mengajarkan umatnya untuk saling memaafkan seseorang yang telah melukai hati kita. Bahkan Rasulullah sangatlah bahagia ketika tahu Wahsyi memeluk agama Allah SWT.
Namun dari ingat rasa sakitnya itu Rasulullah SAW berkata, Wahai Wahsyi jauhkanlah wajahmu di hadapanku selamanya.
Dan sejak saat itulah Wahsyi tidak pernah berdekatan atau menampakkan wajahnya dengan Rasulullah SAW, karena Wahsyi tahu betapa menyakitkan apa yang telah diperbuatnya terhadap Rasulullah pada salah satu oang yang dicintainya.
Lain dari itu setelah Rasulullah SAW wafat, pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar Wahsyi menebus kesalahan dimasa lalunya dengan membunuh Nabi Palsu, yakni Musailamah Al-Kadzab.
Dari hal tersebut, maka kita tahu bahwa Rasulullah telah memaafkan Wahsyi, namun untuk menghindari rasa sakit akan mengingat kembali peristiwa yang telah terjadi Rasulullah meminta Wahsyi menjauh daripada pandangannya.
Untuk itu, menghindar atau tidak bertemu tidak apa-apa selagi kita melakukannya untuk kebaikan, dengan catatan kita telah memaafkannya.
Memang tidak mudah ketika kita telah meminta Allah untuk melapangkan hati kita dalam hal ini. Namun kita sebagai seorang muslim muslimah, hendaknya mengikuti apa-apa yang dicontohkan Nabi kita. Wallahu alam bissawab. []Rosi Daruniah