Hujan

Oleh: Wihda Ikvina Anfaul Umat

 

Tidak ada yang setegar hujan

Ia jatuh berkali-kali, namun tetap datang lagi

Bukan karena tidak belajar

Tapi dia tau, bahwa kesedihan hanyalah sebuah fase dalam kehidupan

 

Tiada yang setabah hujan

Ia tak dipandang

Tapi menyimpan banyak kenangan

Menyamarkan banyak rasa kehilangan

 

Tak ada yang seindah hujan

Setiap tetesnya adalah perjuangan dari Evaporasi air

Berujung kondensasi awan

Kemudian terhempas bersamaan

Tidak ada luka

Yang ada 99 % kenangan manusia-manusia di dalamnya

 

Tak ada yang seletih hujan

Dia satu-satunya yang menyimpan rahasia

Bahwa bahkan dunia tak selalu berujung adil

Bahwa tidak ada satupun yang lepas dari perjuangan

 

Tak ada yang semenarik hujan

Semua rasa tumpah ruah di dalamnya

Tak terkecuali pada dia yang sedang bergejolak

Ah, atau kamupun demikian?

 

Tak ada yang sekuat hujan

Ia tegar, tabah, indah dan  letih

Seperti deretan bait-baitku di awal

 

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Supardi dan Kenangan

Aku ingin menjadi sebuah cinta sederhana nun dalam maknanya

Oleh:

Wihda Ikvina Anfaul Umat

Innalillahi wainna ilaihi raajiun. Sastrawan kenamaan Indonesia, Sapardi Djoko Damono telah berpulang ke Rahmatullah, pagi tadi, Ahad 19 juli 2020. Sudah barang tentu hampir seluruh mahasiswa jurusan sastra, pun yang bukan, tak asing dengan sosok alm. Sapardi. Beliau adalah salah satu sastrawan kenamaan Indonesia yang telah melahirkan banyak karya sastra cantik dan menyuntuh hati para penikmatnya. Alm. Sapardi Djoko Damono yang akrab dengan singkatannya SDD, telah menjalani kehidupan sebagai sastrawan lebih dari 50 tahun. Karirnya dalam bidang sastra tidak dapat diragukan lagi. Almarhum sudah banyak malang melintang dan khatam betul perihal dunia sastra, utamanya pada bidang puisi. Selain sebagai sastrawan almarhum juga pernah menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya UI dan menjadi guru besar. Berbagai penghargaan dalam bidang sastra juga telah almarhum raih, diantaranya anugerah SEA Write Award pada 1986, penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003 dll.

Mengenang alm. Sapardi, beberapa dari para pengagum sastra akan terarah pada buah karya puisi-puisinya yang amat terkenal. Satu diantara yang juga amat saya sukai adalah puisi “Aku Ingin” berikut:

Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(sumber: https://www.gramedia.com/blog/5-kumpulan-puisi-cinta-sapardi- djoko-damono-paling-romantis/)

Puisi bebas dua bait tersebut amat dalam maknanya. Sebuah kesederhanaan cinta yang dilukiskan oleh alm.Sapardi. Tentang apa yang paling sederhana yang dapat kita berikan kepada yang terkasih namum dapat menyayat palung terdalam diujung hati. Puisi bertema cinta tersebut ditulis pada 1989 saat istrinya sedang sakit. Namun dalam pembawaanya tentu kita dapat mengekspresikan rasa cinta tersebut, tidak terbatas kepada kekasih, namun kepada guru, orang tua atau bahkan kepada teman sebaya. Begitulah puisi “Aku Ingin” hendak berbagai cinta dengan pembacanya.

Saat ini setelah Alm. Sapardi pamit dari dunia pun dunia sastra, agaknya puisi ini menjadi ungkapan cinta kepada alm. Sapardi. Diksi “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” menjadi satu ekspresi kecintaan terhadap jasa almarhum atas karya-karya yang telah dilahirkan. “Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu” penggalan tersebut saat ini menggambarkan salam perpisahan kita terhadap sang maestro yang telah tiada, yang tak bisa lagi kita jumpai seakan seperti kayu yang telah terbakar api dan menjadi abu, tak dapat utuh seperti kayu lagi. Pun pada bait berikutnya yang saat ini juga menggambarkan cinta dalam kesedihan kepergiaannya.

Selamat jalan eyang Sapardi Djoko Damono. Terima kasih atas karya-karya manismu, selanjutnya biar kami yang menjaga engkau istirahatlah dengan tenang di pusaramu.

-Ahad, 19 Juli 2020.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.