Kuat

Oleh : Azkia Shofani Aulia

Bagaimana cara melupa?
Sedangkan pintu itu terus membuka
Menjelaskan deretan duka
Senjata tak berbentuk lebih tajam adanya

Hamba tak bergeming
Menimang, pernah berfrustasi ria
Menenangkan diri dalam hening
Memeluk erat persinggahan nyawa

Meniti jejak-jejak yang tak mau menghilang
Mustahil jika pribadi ini terbang
Lenyap untuk sembunyi dari rasa malang
Tak berguna, harus mencoba berdiri dan menghadang

Khusyu'nya doa-doa orang dalam surau
Tangan menengadah berharap diturunkan berkah
Hidup bukan perihal senda gurau
Yakinlah mampu melangkah

Memang wajibmu melewati uji
Tak payah berkutat pada yang dibenci
Sedangkan begitu mudah untuk menyukai
Ini perihal hati yang bersama mendewasakan diri

Berlatih mengucap dengan lugas
Sakit tak harus sama terbalas
Kecuali kan satu hal untuk memelas
Tertuju tak ada yang lain selain yang di atas

Masih punya tangan untuk mencari pegangan
Masih punya kaki untuk berdiri
Singkirkan segala iri
Tuhan menemani, jangan merasa sendiri

Teruntuk segalanya yang hendak dan telah hilang
Mengikhlaskan ada untuk menguatkan
Tepuk pundak sedikit menghentak
Cegah apapun, jangan menjadi retak

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan
mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang

Teks asli : https://temukanpuisidisini.wordpress.com/2021/10/03/kuat/

Awan Purna dan Senja

Oleh : Eka Diyanti

Aku adalah Awan teman Senja. Setiap pagi aku dan Senja jogging ke desa sebelah jika paginya terang. Namun, jika hujan aku dan Senja tidak jogging ke desa sebelah. Akan tetapi, menjalankan aktivitasnya di rumah masing-masing. Di pagi hari aku jogging ke desa sebelah. Sambil menikmati kanan kiri jalan yang dipenuhi keindahan alam yang Tuhan ciptakan untuk makhluk-Nya. Di kanan jalan ada sawah, angin berhembus sepoi-sepoi menyejukkan siapa saja yang melewatinya. Mentari bersiap-siap memunculkan sinarnya. Sungguh,  nikmat Tuhan mana lagi yang dapat aku dustakan. Tuhan menciptakan dunia ini benar-benar dengan proporsi yang pas.  Maka bersyukurlah kita masih diberi anugerah yang luar biasa ini.  Alangkah baiknya jika kita mensyukurinya. Sebagai rasa syukur kita, kita dapat berolahraga di pagi hari. Tapi rupanya setelah olahraga aku merasa sangat lelah. Wah rasanya luar biasa,  ditambah sepatuku bercelah sehingga kakiku menjadi terbelah, nafasku terengah-engah,  jantungku berdetak tanpa rasa bersalah seakan-akan copot rasanya. Namun,  dibalik itu semua aku memperoleh sejuta manfaat.

  Keadaan yang membawa Aku dan Senja menjadi semakin dekat. Ditambah suasana negeri ini sedang kacau akibat mewabahnya virus corona.  Namun,  dibalik itu semua ada hikmah yang dapat kupetik. Aku adalah anak pertama, sedangkan Senja adalah anak kedua. Tanggung jawabku lebih besar daripada tanggung jawab Senja. Aku dan Senja juga memiliki Purna. Purna adalah teman kami dapat pula dikatakan sahabat. Purna adalah seorang gamers pabji yang tembak menembak musuh. Purna juga pecinta kucing. Di rumahnya ia memelihara tiga kucing yang diberi nama si Oren, si Sireng,  dan si Ongeh. Namanya memang unik-unik.  Di antara  ketiga kucing itu,  kucing yang paling manja adalah si Oren, badannya paling besar. Setiap aku ke rumah Purna membawa motor,  si Oren langsung menduduki motorku dengan santainya, seakan-akan aku hendak mengajaknya pergi.  Tingkahnya sangat unik , ia selalu ingin dimanja oleh pemiliknya. Si Sireng tidak suka dengan si Oren, aku mengetahuinya ketika si Oren mencoba mendekati si Sireng,  si Sireng langsung pergi menjauh. Sedangkan,  si Ongeh lain dari yang lain,  si Ongeh sangatlah mandiri. Jika si pemilik rumah mengunci rumahnya, si Ongeh dapat memasuki rumah tersebut dengan mencoba membuka jendela. Dengan cepat jendela pun terbuka. Padahal, jendelanya dikunci,  tetapi si Ongeh tetap bisa membukanya. Begitu pintarnya si Ongeh. Pernah ada tingkah lucu si Oren,  ketika Senja dan Purna membawa si Oren ke sekolah.  Dengan leluasa si Oren bermain di lapangan sekolah. Si Oren sudah mengenali pemiliknya sehingga ketika ditinggal oleh pemiliknya,  si Oren dengan sendirinya mencari sang pemilik. Dan lucunya ketika ada motor dia langsung duduk di motor bagian depan. Oren juga suka mengganggu kucing lain. Akan tetapi,  si Oren,  si Sireng,  dan si Ongeh,  tetap hidup rukun meskipun mereka adalah kucing yang berbeda jenisnya.

Aku, Senja, dan Purna adalah tiga orang sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Katanya sih gitu,  padahal kami tidak selalu bersama. Kami berteman sejak kecil hingga sekarang berada di masa putih abu-abu. Awan dan Senja tidak bisa dipisahkan. Keduanya ada untuk saling melengkapi. Senja menjadi pelengkap bagi Awan. Katanya Senja itu indah, apalagi jika dilihat bersama orang-orang tercinta. Senja sahabatku tidak kalah indah,  dia adalah pecinta musik bisa bilang anak indie. Ia adalah gitaris handal. Setiap kali Awan, Senja, dan Purna bertemu.  Senja selalu mempersembahkan sebuah lagu-lagu yang dinyanyikan dengan diiringi gitar. Petikan gitar tangan Senja seakan-akan membuatku untuk ikut terbawa olehnya. Ditambah merdunya suara Senja menjadi sensasi tersendiri bagi seorang penikmat musik. Dari SD, Senja adalah anak yang sangat aktif. Dia sering kali mengikuti lomba. Ia pernah mengikuti lomba menari, lomba gerak jalan bahkan menjadi pemimpin senam. Ia juga menjadi petugas upacara,  biasanya menjadi pemimpin upacara.  Karena berkat suaranya yang lantang dia dijuluki radio bodol. Padahal suaranya bagus. Sedangkan aku pernah mengikuti lomba LCC, menyanyi,  dan biasanya aku menjadi pengibar bendera di saat upacara pada hari Senin. Purna juga aktif mengikuti berbagai lomba. Di masa putih abu-abu,  di antara aku,  Senja,  dan Purna yang paling aktif adalah Senja. Dia mengikuti PKS (Pasukan Keamanan Sekolah) yang mana di ekstrakulikuler ini sangat memperhatikan baris berbaris. Baris berbaris saja diperhatikan apalagi kamu. Sedangkan,  aku sendiri pernah beberapa kali mengikuti lomba KTI. Kerap kali pelaksanaan tim KIR kami selalu dadakan bak tahu bulat sehingga menghasilkan karya yang amburadul. Belum lagi karya yang tim kami buat merupakan ide dari pembimbing ekstrakulikuler KIR. Aku juga pernah mengikuti KSN fisika.  Di dalam ilmu fisika aku diajarkan mengkhayal sesuatu untuk dapat menyelesaikan suatu persoalan dalam soal.  Sungguh, sulitnya bukan main. Meskipun aku beberapa kali mengikuti lomba,  tetapi aku merasa bahwa aku tidak seaktif waktu di SD.  Purna sendiri tidak mengikuti ekstrakulikuler apapun. Tetapi dia jago dance. Apalagi dance nya Black Pink yang oye-oye. Setiap gerakan dance nya dilakukan dengan lemah gemulai,  kataku mirip Lisa Black Pink. Purna juga kpopers,  dia suka boyband korea. Dia mahir dalam berbahasa Inggris. Bapak ibunya penjual nasi di pasar. Bapak ibunya sangat dermawan. Setiap aku dan Senja main ke rumah Purna. Bapak ibunya selalu menjajakan aku dan Senja. Dia juga punya kakak. Kakaknya sudah bekerja sehingga dapat membantu perekonomian keluarga Purna. Wajar saja jika apa yang dia inginkan selalu dituruti oleh bapak ibunya. Mereka hidup berkecukupan. Keluarganya sangat pas,  hanya terdiri dari Bapak,  Ibu,  dan dua orang anak. Karena dua anak lebih baik,  katanya si gitu.

    Sebenarnya dulu waktu SD di antara Awan, Senja, dan Purna ada satu lagi, tetapi sekarang sudah tidak seperti dulu waktu di SD.  Dulu saat aku masih SD, aku punya geng yang diberi nama ELIS. Gengku ini sangat ditakuti oleh teman-temanku di kelas. ELIS adalah geng yang sangat aktif menjadi sorotan di mana-mana seperti selebritis saja. Katanya sih mukanya seperti para gengster padahal biasa-biasa saja. Sekarang ELIS sudah dibubarkan. Salah satu dari ELIS sekarang sudah berbeda. Karena tempat sekolah kami dengannya berbeda. Ia juga sudah berubah. Akan tetapi,  Awan,  Senja,  dan Purna tetap bersahabat. Awan dan Senja saling melengkapi. Awan sangatlah baik hati. Ia suka membantu Senja dan Purna di saat mereka dalam kesulitan. Begitupun Senja. Senja selalu menghiburku dan Purna dikala merasa sendu. Purna pun begitu sering mengajariku dan Senja untuk menjadi seseorang yang saling menyayangi terhadap sesamanya termasuk dengan kucing. Dan hingga sekarang, Awan,  Senja dan Purna tetap bersama. Di kala jumpa kami berbincang mengenai mimpi-mimpi yang sangat menakjubkan. Semboyan kami adalah mimpiku adalah mimpimu, mimpiku mimpimu adalah mimpi kita. Bersatu padu menjadi satu demi negara maju. Mimpi yang ada bukan untuk ditakuti. Namun,  mimpi yang  ada harus kita taklukan bersama.  Semua perjuangan akan berbuah hasil. Persahabatan yang ada akan menjadi pendorong mewujudkan segala mimpi-mimpi. Dengan percaya akan kebesaran-Nya, niscaya jika sudah dikatakan jadilah maka akan terjadi.  Sahabat ada untuk saling memberi semangat,  memberi dorongan,  memberi motivasi. Sahabat yang luar biasa akan selalu ada.  Jika kamu sudah sukses maka berterimakasihlah kepada sahabat.  Awan,  Senja dan Purna memiliki mimpi yang sama, bersatu membentuk kekuatan untuk mewujudkan cita-cita bersama membangun negeri untuk kemajuan yang abadi.

    Awan,  Senja,  dan Purna percaya suatu saat hari-hari mereka akan indah. Seperti senja yang tak pernah sirna. Itulah sahabat,  sahabat diibaratkan tali. Yang mana jika terputus akan sulit untuk dimanfaatkan,  tetapi jika tetap bersatu maka akan bermanfaat untuk orang lain.

Kata Awan,  awan itu suci,  bersih.  Bersih itu tidak hanya dari luar. Bersih yang sempurna adalah bersih yang berasal dari dalam diri seorang manusia. Ini membuktikan bahwa persahabatan harus dijalankan dengan sebuah ketulusan hati. Telinga yang siap mendengar,  tangan yang siap menolong, dan setiap perilaku yang dilakukan demi kebahagiaan seseorang yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Jika Awan tak pernah mau menunjukkan kesedihan kepada orang lain, maka jadilah seperti awan. Yang ingin selalu terlihat bahagia walau keadaan sebenarnya sengsara.  Ia selalu menjadi orang yang penuh percaya diri. Jika kita takut bermimpi,  maka mimpi juga akan menakuti kita.

  Di kala senja tiba,  kami menghampiri keelokannya,  menikmati kepergiannya. Ketika melihat senja seakan-akan mimpi kita sudah ada di depan mata. Seakan-akan aku, Senja,  dan Purna tidak akan pernah sirna,  tetapi akan selalu bersama walaupun badai menerjang kita.  Bagi Senja sahabat itu segalanya. Senja bersyukur kami  bisa bersatu. Kami jauh-jauh bersyukur dapat menikmati senja.

Di kala purnama, tepatnya tanggal 15 jawa. Bulannya bulat bak bola permata. Inilah bulan purnama. Yang indahnya tak tertandingi. Ditemani oleh sang bintang-bintang di sekelilingnya.  Belum lagi planet-planet. Wah, luar biasanya alam ini. Awan,  Senja,  dan Purna duduk di depan teras rumah memandangi langit malam betapa indahnya.  Mereka bercengkerama bersama, membahas mimpi-mimpi mereka masing-masing. “Andaikan bintang jatuh,  aku akan berdoa”, kata Purna. Seketika itu bintang pun terjatuh. Awan,  Purna,  dan Senja pun langsung berdoa.  Mereka memejamkan mata, tangan mereka saling bergandengan. Jika doa Awan dan Senja mengenai cita-cita,  Purna berdoa mengenai persahabatan mereka. Belajar dari sahabat itu adalah sebuah usaha untuk menjaga persahabatan. Kata Purna, “Wan,  Ja,  kalo kalian punya orang penting selain aku.  Aku mohon tolong jaga dia.  Jangan sampai kamu membuatnya sakit hati”.  “Apa yang kamu bilang, Na? “jawab Awan. “Kita kan sahabat,  kita harus selalu bersama. Saling mendukung satu sama lain. Kita tidak boleh terpecah belah. “kata Senja. Awan,  Senja,  dan Purna langsung membuka mata dan saling berpelukan. “Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti kalian, “kata Purna.  Mereka semua menangis bahagia. Bintang-bintang yang jatuh pertanda,   harapan-harapan kita akan segera menjadi kenyataan. Awan,  Senja, dan Purna menjatuhkan badan ke rerumputan sambil memandangi langit terus menerus tiada henti.  Pandangan mereka memberikan isyarat bahwa mereka berharap semua mimpi-mimpi mereka akan segera dikabulkan oleh Sang Pencipta. Dan mereka berharap akan selalu menjadi sahabat sejati. Bersama sahabat semua menjadi indah,  karena sahabat aku bisa menghargai bagaimana arti sebuah pertemanan.  Sahabat mengajarkan kita arti sebuah kesetiaan dalam suatu hubungan. Sikap yang siap menerima segala kekurangan dan siap dalam saling melengkapi satu sama lain.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Teks asli : https://blogdotcontoh.wordpress.com/2021/10/03/awan-purna-dan-senja/

Memahami Perintah-Nya

Oleh : Khasiatun Amaliyah

Terlambat yang sebenarnya adalah ketika petunjuk-Nya sudah di depan mata, akan tetapi kita tidak segera peka dan mengambilnya. Benarkah itu dikarenakan hati kita sudah menjadi keras bak batu?

Manusia dengan segala permasalahan yang dihadapi tidak sedikitpun lepas dari pengawasan-Nya. Tidaklah seorang manusia diberikan ujian melebihi batas kesanggupan dan kemampuannya. Mulai dari masalah yang kecil dan sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya saja lupa meletakkan suatu barang akhirnya membuat kita harus mencarinya sampai terkadang bisa memicu meluapnya emosi ringan tanpa kita sadari. Beberapa ucapan yang tidak sepantasnya ke luar akhirnya lisan kita ucapkan. Begitulah memang, maka dari itu sungguh sulit dan butuh konsistensi untuk bisa mengendalikan diri dengan baik.

Sebagai seorang muslim di Al-Quran sudah banyak Allah memberikan banyak peringatan. Tidak sedikit pula dari kita yang hanya sebatas tahu lalu setelahnya seperti angin lalu. Apabila segala hal atau aktivitas yang kita lakukan sehari-harinya entah dalam keadaan ramai atau sendiri, Allah senantiasa mengawasi dan tidak ada satu pun perbuatan kita yang tidak tercatat oleh malaikat.

Manusia adalah makhluk yang sering lalai dan lengah. Ketidaktahuan manusia bahwa waktu merupakan suatu hal paling penting dan berharga, yang mana ketika mereka mampu menggunakan 24 jam yang Allah berikan secara bijaksana dan manfaat maka ia pun akan menuai hasilnya. Bahkan 24 jam itu bisa bernilai pahala jika segala aktivitas yang dilakukan diniatkan karena Allah dan semata-mata untuk mencari ridha-Nya.

Dengan demikian, maka menjadi penting bagi kita sebagai seorang muslim untuk mengetahui apa saja perintah-Nya. Setidaknya kita bukan hanya tahu sebatas menjalankan ibadah salat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Akan tetapi lebih dari itu, yang mana mungkin ini akan berkaitan dengan keseharian yang kita lakukan. Tidak mudah memang untuk menjalankan semua perintah-Nya, yang mana disadari bahwa kita hanyalah manusia biasa yang memiliki batas kesanggupan. Akan tetapi, itu bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk terus ber ikhtiar dalam upaya meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita sebagai seorang muslim yang sesungguhnya dengan memahami dan menjalankan perintah-Nya.

Dalam Q.S (2) Al-Baqarah Ayat (83) Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, berbuat baiklah pada orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakan salat, tunaikan zakat.’ Tapi kemudian kamu berpaling (ingkar), kecuali sebagian kecil dan kamu masih menjadi pembangkang.”

Berdasarkan surah tersebut mari lihat dan berkaca pada diri kita sendiri, sudahkah kita melakukannya? Sudahkah kita benar-benar menyembah Allah yaitu dengan hanya berharap, berdoa, dan bergantung kepada-Nya? Jangan-jangan kita masih bergantung kepada manusia, padahal Allah lah yang membolak-balikkan hati mereka dan memegang kendali atasnya (manusia-manusia).

Sudahkah kita berbuat baik kepada ke dua orang tua kita? Atau justru kita masih suka membangkang, berkata kasar, dan berlaku tidak baik kepada ke duanya? Sudahkah kita berlaku baik pada anak-anak yatim dan orang-orang miskin? Atau malah justru kita berlaku sombong dan angkuh? Sudahkah kita bertutur kata yang baik kepada manusia? Jangan-jangan kita sering menggunakan kata-kata yang sedang gaul saat ini, menganggapnya sebagai suatu trend, tanpa kita sadari itu akan menjadi salah di hadapan-Nya, dan suatu hari nanti kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah keluar dari lisan kita (segala perkataan).

Bagaimana kabar salat kita? Masihkah baik-baik saja? Sudahkah kita benar-benar tunduk dan menyerahkan diri kepada-Nya dalam salat kita? Atau justru masih terbayang-bayang dengan aktivitas (sibuk memikirkan dunia)?

Maka dari itu, menjadi penting bagi kita untuk sedikit demi sedikit mulai dari sekarang memahami apa saja perintah-Nya dan mulai konsisten untuk mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut (83) bahwa hanya sebagian kecil yang melakukan perintah-Nya dan kebanyakan dari kita ingkar serta menjadi seorang pembangkang.

Bagaimana memulainya? Dimulai dari ketika kita mulai membaca Al-Quran dengan disertai memahami makna dan mengamalkannya, semoga istiqomah.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Teks asli : https://worentjourneyme.wordpress.com/2021/10/03/memahami-perintah-nya/

Sukses Bukan Karena Keberuntungan

Oleh Dian Fatimatus Salwa

Akhir-akhir ini penulis menemukan suatu peristiwa unik, dalam waktu sepekan penulis bertemu dengan beberapa orang yang yakin bahwa sukses terjadi karena keberuntungan. Salah satunya, penulis bertemu dengan seorang bapak paruh baya dalam sebuah acara. Di sela-sela acara ia berbicara menyinggung masalah kesuksesan. Ia mengatakan bahwa faktanya sekarang ini orang bodoh kalah dari orang pintar, orang pintar kalah oleh orang licik, dan orang licik kalah oleh orang bejo (beruntung). Benarkah demikian? Apakah keberuntungan memiliki hubungan erat dengan sukses? Apakah kesuksesan karena keberuntungan? Apakah orang-orang yang mencapai kesuksesan lebih cepat karena mereka beruntung? Apakah orang-orang yang bekerja keras tetapi tidak pernah berhasil karena memang mereka sial?

Pembaca yang hebat, bagaimanakah anda mendefinisikan keberuntungan? Kenyataannya saat ini banyak orang yang salah mendefinisikan kata beruntung. Banyak yang mengatakan, keberuntungan adalah ketika seseorang bisa mencapai tingkatan kehidupan yang lebih tinggi karena ada sesuatu yang menguntungkan dirinya. Misalkan, ada seorang yang biasa-biasa saja, tiba-tiba ia menjadi artis papan atas dan dikenal seluruh lapisan masyarakat karena ada produser yang mendatanginya. Seandainya ia tidak bertemu produser tersebut, ia tidak akan sukses bukan? Atau ada seorang pengusaha, ia mampu mengambangkan bisnisnya dengan cepat karena bertemu dengan seorang mentor yang memberikan banyak pencerahan. Jika ia tidak bertemu dengan mentor tersebut bisa jadi ia tidak sukses.

Dari dua contoh di atas, seakan-akan keberuntungan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesuksesan, padahal kenyataannya tidak. Orang yang biasa-biasa saja bisa menjadi artis karena perjuangan keras, ia harus mealtih bakatnya, ia harus belajar mengatur waktu, ia harus menggali potensi, mencari keunikan dirinya, membangun citra diri yang baik, dan lain-lain. Seorang pengusaha bisa sukses dengan cepat bukan karena ia beruntung bertemu dengan sang mentor, tapi karena sebelumnya ia telah berusaha mencari mentor tersebut, mempelajari sesuatu yang baru, gagal berkali-kali, dan terus berjuang mengembangkan bisnisnya. Kesuksesan terjadi bukan karena keberuntungan, tapi karena ada perjuangan, usaha, doa, dan faktor lainnya yang membuat kita menjadi sukses.

Lalu mengapa ada orang yang gagal padahal sudah berjuang keras? Apakah mereka tidak beruntung? Sebenarnya kegagalan terjadi bukan karena tidak beruntung, tapi karena banyak faktor, seperti kurang tangguh, kurang percaya diri, kurang ego, kurang persiapan, kurang kerja keras, atau kurang doa. Maka ketika gagal jangan pernah katakan bahwa anda tidak beruntung. Sukses bukan karena keberuntunga, tapi karena kerja keras, kemauan, kesempatan, doa, dan tawakkal. Dengan terus mengerahkan kemampuan puncak, menguatkan kemauan, mempersiapkan diri untuk memanfaatkan kesempatan, dibantu dengan doa dan tawakkal maka kesuksesan akan mudah kita raih. Adapun jika hanya menunggu keberuntungan datang, maka sampai kapanpun sukses tidak akan pernah datang, bagaikan menunggu kucing bertanduk.

Hindari kata keberuntungan, bangun definisi yang benar terhadap kesuksesan. Buat visi, misi, perncanaan, dan target yang matang untuk sukses. Singsingkan lengan baju, jalankan perencanaan dengan penuh keikhlasan dan kerja keras, evaluasi hasil kerja secara periodik, bantu dengan doa yang sungguh sungguh setelah itu bertawakkal. Jangan menyerah dan yakinlah dengan apa yang anda usahakan, karena kesuksesan telah menunggu di ambang pintu.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Teks asli : https://diansalwaajourney.blogspot.com/2021/09/sukses-bukan-karena-keberuntungan.html

التغريب وتأثيره نحو حقوق امرأة في العرب

Oleh: Nisaana ‘Azzalatifa

نظرنا اليوم، أنّ التغريب قد تطوّر في أنحاء البلاد. لا شكّ ولا ريب أنّ ثقافة الغربية أكثر ثقافة استعمالها. أحدها بلاد العرب، كما عرفنا أنّ بلاد العرب بلاد متمسك بشريعة الإسلام. حيث تمسّك وطبّق قيمة الإسلامية في حياتهم. العرب قبلة المسلمين في الثقافة الإسلامية شرقا وغربا. وهو قبلة اللغة العربية في أنحاء العالم.
واليوم دخل التغريب في بلاد العرب  ببرنامج رؤية السعودية ٢٠٣٠ الذي أسّس في يد ابن سلطان العرب محمّد ابن سلمان. وبهذ الحال سوف تؤثر ثقافةُ الغربيّة نحوَ ثقافة العرب إجابية كانت أو سلبية. ما هي الإجابيات المترتبة في هذا المجال؟ أحدها يعنى ارتقاء حقوق المرأة. فهمنا أن ثقافة العرب هي ثقافة الإسلاميّة والشريعة. هناك القانون الذي يرتّب حقوق المرأة. وهذا تحدد المرأة العربيّة في حقوقها. فالثقافة العربيّة منعت المرأة بالقيادة، ومنعت المرأة بالعمل خارج البيت، ومنعت المرأة بمشاهدة مبارات الرياضة حتى تحددت حقوقهنّ. وبوجود التغريب سوف ترفع درجة الالإمرأة العربية دون الخروج من دهليز الشرعيّة. ونظرا إلى بلادنا المحبوب، للمرأة حرّيّة واسعة.بجواز القيادة، ولاختيار العمل، ولارتداء الملابس، والجواز في عدّة المجلّات الحياة.
حيث قال تعالى:
“وَمَنْ يَعْمَلُ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولئِكَ يَدْخُلُوْنَ الجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا”. بهذا الدليل نعرف أن لا فرق بين الرجال والنساء في الحقوق.
والمقالة الأخرى يقول: “الصالح من يؤدّى حقوق اللّه وحقوق الناس”. والمعنى، ليس الصالح من يؤدّى حقوق الله فقط، أو يؤدّى حقوق الناس فحسب، بل من يؤدى حقوقهما.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Teks asli: https://nisasabi.blogspot.com/2021/09/blog-post.html

Perlu Tamparan Keras?

Oleh: Zahrotuz Zakiyah

Karena dengan kata semangat saja baik dari siapapun itu, jika bukan diri kita sendiri yang memulai semua itu pasti kita akan tetap berada pada keterpurukan.

Tamparan keras bukan berarti kita butuh seseorang untuk menampar pipi kita dengan keras sehingga meninggalkan jejak jari jemari di pipi kita. Tamparan keras ini mungkin bisa dengan perkataan yang pedas atau semacamnya. Tujuannya yaitu untuk membuat kita sadar atau bangkit dari keterpurukan.

Pada saat diri merasa kacau, lupa diri atau sedang mabuk. Omongan atau nasehat apapun itu sudah tidak mempan lagi, maka saat itulah tamparan yang membuatnya sadar. Dan disaat seperti ini terjadi, saya yakin mayoritas dari kita tidak lagi membutuhkan semangat dari siapapun. Karena dengan kata semangat saja baik dari siapapun itu, jika bukan diri kita sendiri yang memulai semua itu pasti kita akan tetap berada pada keterpurukan.

Terkadang kekerasan atau kritikan tajam dan menusuk membuat orang lain menjadi salah paham, namun percayalah bahwa semua itu tidak selalu bernilai negatif. Adakalanya kita memang sangat membutuhkan kritikan itu, tanpa adanya kritikan kita tidak akan mengerti dimana letak kesalahan kita. Jika sebagian dari kita menganggap bahwa pujian lebih membuat kita menjadi bersemangat, namun sebagian dari kita ada yang mengganggap bahwa pujian ini menjadikan diri kita lebih santai sehingga tidak ada lagi kemajuan dari diri kita.

Saya sering menonton drama yang bergenre game, dari situlah saya mengerti bahwa tamparan keras itu memang perlu. Seperti dalam drama, disitu diceritakan adanya seorang pemain dengan performa yang sangat bagus tetapi dia memiliki kekurangan pada fisiknya. Dia cacat dalam kakinya karena kecelakan, dengan kecacatannya itu menjadikan dia tidak percaya diri untuk dapat menjadi pro player. Walaupun dari sebuah tim mengajaknya bergabung untuk menjadi bagian dari mereka dengan tujuan meraih kejuaraan dan menjadikannya pro player, namun semua itu tetap ia tolak karena kekurangan fisiknya tersebut. Hingga datanglah seorang dari salah satu tim yang ingin merekrutnya itu, dia menghampiri dengan emosi yang memuncak. Saat tepat dihadapaanya, seseorang itu mengatakan dengan sejujurnya bahwa memang orang cacat fisik tidak akan mampu menjadi seorang pemain yang profesional.

Perkataan tersebut pasti sangatlah menusuk, hingga seorang yang cacat tersebut pun terpancing emosinya dan memberontak dengan keras. Dia mengatakan dengan percaya diri bahwa ia mampu dan akhirnya dia pun menerima tawaran tersebut. Dari situ kita dapat mengambil kesimpulannya bahwa tamparan keras itu memang sangat diperlukan bagi mereka yang sedang terpuruk. Perkataan itu memang sebuah hinaan yang negatif, tetapi bukan berarti bernilai negatif.

Seperti halnya kita perlu merasakan gagal untuk menjadi sukses. Dan seperti yang kita tahu juga, Allah menurunkan bencana yang besar itu adakalanya memang benar-benar cobaan atau mungkin bisa jadi tanpa kita sadari itu adalah sebuah tamparan untuk kita.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Teks asli: https://creationzaki.wordpress.com/2021/09/05/perlu-tamparan-keras/

1 = 100 = 1.000.000 = 100.000.000

Oleh: Rayyan Alkhair

                Jika kita melihat sekilas persamaan diatas, maka yang akan terlintas pada pikiran kita adalah bahwa angka-angka diatas adalah soal logika aritmatika yang ada pada tes psikotes. Hal tersebut tidak salah, namun yang akan penulis bahas pada kesempatan kali ini bukanlah tips & trik pengerjaan soal-soal aritmatika. Penulis akan membahas sebuah proverb yang diucapkan oleh Jalaluddin Rumi, seorang filsuf Islam pada abad ke-9.

            Dalam beberapa kesempatan, Rumi yang merupakan seorang terpelajar, memberikan ceramah/kuliah umum kepada khalayak. Ceramah/kuliah umum tersebut kemudian dikodifikasi oleh para muridnya menjadi sebuah buku yang terkenal di barat dengan nama “the discourse of rumi” atau dengan nama asli “Fiihi ma fiihi”. Dalam suatu kesempatan, Rumi mengatakan bahwa “…. satu sama dengan seratus dan sama dengan sejuta..” , apa makna perkataan tersebut ?

            Menurut penulis, setidaknya ada dua makna dibalik perkataan rumi yang mirip dengan soal logika aritmatika dalam tes psikotes. Makna pertama adalah, sesuatu yang dimaksud sangat tidak penting/berguna/bermanfaat, dimana ketika “sesuatu” itu berjumlah satu atau berjumlah sejuta, keberadaannya sangat tidak penting bahkan jumlah pun tidak bisa menambah kegunaan/arti daripada “sesuatu” itu.

            Hal ini dapat kita ketahui ketika kita melihat sesuatu seperti “buih” di lautan atau di genanan air. Buih adalah sesuatu yang tidak penting, hal paralel dengan perkataan diatas bahwa baik ketika buih berjumlah satu maupun ketika buih berjumlah satu juta, ia tetap tidak membawa kebergunaan daripada eksistensi buih di seluruh dunia. Buih tidak dicari ketika nelayan melaut, nahkoda mengemudi atau ketika pelancong menyelami laut.

            Contoh kedua adalah sesuatu yang bernuansa sosial. masyarakat memiliki sebuah sistem yang membuat keteraturan, keharmonisan dan keamanan tetap terjaga. Masyarakat terdiri dari lingkaran yang semakin kecil, yakni keluarga dan individu didalamnya. Setiap “komponen” dalam masyarakat bekerja dan bersinergi satu sama lain, ketika ada satu komponen yang “anomali” , maka keseluruhan sistem akan terganggu dan ketidak bekerjaan/kehancuran menunggu didepan mata.

            Namun, apa yang kita kategorikan sebagai “komponen” yakni lingkaran kecil dan semakin kecil di masyarakat, tidak semuanya dapat dikatakan sebagai “komponen”. Ada yang seperti “komponen” namun bukan “komponen” itu sendiri, ia bagai lengkuas yang menyamar di kolam penuh semur.

Ada seseorang yang dengan keberadaannya tidak membawa manfaat atau bahkan eksistensinya tidak disadari sehingga ketika orang semacam ini berjumlah satu dalam masyarakat yang kecil atau berjumlah jutaan dalam masyarakat besar seperti negara, keberadaannya tidak membawa manfaat satu dengan yang lainnya, nilai ia dan mereka seperti buih di lautan, terombang ambing mengikuti arus dan tidak dicari oleh siapapun.

            Makna kedua daripada perkataan Rumi diawal adalah bahwa sebenarnya “sesuatu” baik itu konstruksi realita seperti istilah  atau konsep adalah satu, namun orang-orang di dunia yang membuatnya menjadi seakan-akan bervariasi dan memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya sehingga perdebatan kecil terjadi karena ketidak mampuan melihat hakikat daripada “sesuatu” itu.

            Sebagai contoh, kata “malas” , kata “santai” kata “istirahat” dan kalimat “masa tenang sebelum badai datang” terkadang sering membuat kesalah pahaman dan perdebatan kecil di masyarakat. Ketika seseorang sedang tidak melakukan apapun atau tidak melakukan pekerjaan utamanya, kata-kata diatas sering digunakan untuk mendeskripsikan kondisi yang sedang mereka lalui.

            Orang yang tidak melakukan apapun atau tidak melakukan pekerjaan utamanya akan mengatakan bahwa ia sedang “santai” atau mengatakan ia sedang “tenang sebelum badai datang”. Namun, orang lain yang melihatnya akan mengatakan bahwa ia sedang “malas-malasan” karena tidak melakukan apapun dan hal ini yang akan memulai perdebatan mengenai 1 = 100 = 1000.000.

            Sejatinya, bila kita menggunakan logika induksi, maka kita akan bisa melihat sisi ekletik daripada istilah-istilah diatas maupun jutaan istilah yang lahir dari manusia dan seakan-akan berbeda satu sama lain. Unsur “tidak melakukan apapun” atau “tidak sedang mengerjakan pekerjaan utama” adalah hal-hal yang ekletik daripada istilah-istilah diatas

Sehingga, pada hakikatnya keragaman dari istilah-istilah diatas adalah sesuatu yang artifisial, semu dan tidak penting. Keberagaman yang ada baik itu sepuluh, seratus maupun sejuta tidak penting sebab pada hakikatnya “sesuatu” itu adalah satu namun ketidak mampuan dalam melihat hakikat dari “sesuatu” yang membuat dualitas terjadi.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Teks asli: https://rayyanalkhair15.wordpress.com/2021/08/28/1-100-1-000-000-100-000-000/

Sekarang Sadar

Oleh: Khasiatun Amaliyah

(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan ahli Kitab. Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapat pelindung dan penolong selain Allah.

Q.S. AN-NISA’ (123)

Seandainya kita diberikan kesempatan memperbaiki kesalahan di masa lalu cukupkah waktu yang diberikan tersebut untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kita lakukan? Akan tetapi, Maha Suci Allah dengan segala apa yang ditakdirkan kepada hambanya, apa yang telah, dan pernah menyapa di hidup kita. Semuanya tidak lepas dari kehendak dan pengawasan-Nya. Segala peristiwa yang terjadi pun tidak terjadi tanpa alasan, melainkan selalu terselip hikmah, dan pesan cinta serta kasih dari-Nya.

24 jam. Dimulai dari kita balig hingga sekarang. Ada yang sudah kuliah, bekerja, atau malah sudah membangun rumah tangga, mungkin. Berapa tahun waktu yang sudah dilewati? Apakah waktu yang terasa singkat tapi tetap tidak bisa kita menyebutnya sebentar itu, sudahkah waktu selama itu membuat kita belajar? Penyesalan memang selalu datang di babak akhir. Akan tetapi, hal itu lebih baik ketimbang kita tidak pernah menyesal sama sekali dengan perbuatan atau apa pun itu yang sebenarnya salah dan keliru. Terkadang penyesalan lah yang bisa membuat kita mau belajar dan berubah. Semua itu tidak lain adalah salah satu dari banyaknya tanda cinta kasih-Nya kepada kita sebagai makhlu ciptaan-Nya.

Memang benar, hidup adalah tempat kita belajar dan berjalan untuk sampai pada tujuan akhir yang sebenarnya. Apabila kita tahu dan paham bahwa hidup adalah tentang belajar, lantas kenapa takut untuk mencoba? Takut mengalami kegagalan? Atau takut memulai usaha-usaha yang merupakan bentuk ikhtiar kita dalam beramal sebagai seorang manusia yang mengumpulkan bekal menghadap-Nya? Lantas, kenapa kita merasa mudah cepat putus asa, menyerah, dan berhenti untuk berbuat kebaikan hanya karena ternyata kita tidak mendapatkan hal setimpal ketika melakukannya di dunia? Padahal tidak selalu Dia akan membalas kebaikan hambanya secara langsung (di dunia) mungkin saja setelah kehidupan ini, yang justru lebih baik bagi kita, andai kita mengetahuinya.

Manusia adalah makhluk yang sering lupa untuk bersyukur. Melalui apa yang telah dimiliki saat ini. Pikirannya selalu cepat berlari ke sana dan ke mari, memikirkan apa lagi yang harus dimiliki setelah ini, pun begitu seterusnya seterusnya. Salahkah? Memiliki target, perencanaan, dan semangat optimisme itu penting. Akan tetapi, sangat disayangkan apabila semua hal baik tersebut justru menjadikan kita menjadi seorang pribadi yang tanpa sadar telah mendewakan diri sendiri. Merasa segala pencapaian, keberhasilan, ketenaran, kesuksesan semuanya adalah hasil jerih payah dan kerja kerasnya. Memang benar, manusia bahkan sering begadang untuk menyelesaikan suatu tugas, proyek, dan lain sebagainya. Bekerja dan berpikir begitu keras dan penuh semangat agar semua rencana bisa berjalan dan sesuai harapan. Akan tetapi, manusia tidak akan mampu melakukan semua itu tanpa pertolongan dari-Nya. Sungguh tidak akan mampu.

Melelahkan jika setiap perbuatan baik yang kita lakukan dibarengi dengan adanya harapan bahwa orang lain (manusia lain) pun akan memperlakukan kita sebagaimana kita memperlakukan mereka. Tidak bisa seperti itu. Di sinilah seringkali kita dibuat lalai dan lengah. Merasa kita sudah berbuat baik dan diri kita sudah menjadi pribadi baik. Sebuah renungan untuk kita bersama, pernahkah kita merasa sudah berbuat baik atau sudah merasa diri kita baik yang tanpa sadar dibarengi dengan perasaan menyombongkan diri? Mungkin kita tidak pernah menyadarinya, tapi Dia sungguh Maha Teliti terhadap apa yang kita kerjakan.

Setiap kebaikan sekecil apa pun itu ada pahalanya, ada hadiah dari-Nya. Ketika kita melakukan suatu kebaikan, kebaikan itu tidak lain untuk kita sendiri. Sebaliknya, setiap kejahatan meskipun kecil tetap akan menjadi sebuah perhitungan. Tidak ada salahnya kita untuk terus berbuat baik dan memang kita harus berbuat baik, ada atau pun tidak yang mengapresiasi. Sejatinya semua akan mendapatkan jawaban di akhir keputusan suatu hari nanti.

Kita tidak perlu berdebat memberikan pembuktian. Berbuatlah kebaikan sesuai dengan kadar kemampuan dan kedudukan masing-masing, percayalah semua akan tetap ada perhitungannya. Sebagai seorang manusia, kita tidak pernah tahu dari kebaikan mana yang sejatinya nanti akan menjadi amal terbaik kita dan Dia ridha terhadap amal yang kita kerjakan tersebut. Jadi, mari kita sama-sama berlomba dalam kebaikan dengan hanya mengharap ridha dari-Nya.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Teks asli: https://worentjourneyme.wordpress.com/2021/08/29/sekarang-sadar/

Pandemi, Menuntun Hati

Oleh: Khofifah

Aku menghela napas kecewa ketika melihat berita di grup sekolah yang mengatakan jika libur sekolah diperpanjang. Satu tahun sudah sekolah mengadakan pembelajarannya secara daring  (dalam jaringan) dan selama itu juga, aku terperangkap dalam rasa bosan.

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini aku sedang melakukan pembelajaran secara virtual.

“Dhit, belikan sarapan tolong ya.”

Aku yang tengah sibuk memperhatikan guru via zoom langsung mematikan fitur on cam. “Maaf bu, Dhita lagi zoom.”

“Habis zoom selesai ya, Dhit. Ibu minta tolong, soalnya ibu lagi bantuin Ilham ngerjain tugas.” Dari balik pintu, terdengar suara ibu dengan nada memohon.

“Yah,” desahku kesal. “Kalau sempat ya bu, soalnya tugas Dhita banyak,” lanjutku.

Tak ada jawaban dari ibu. Aku menggeleng acuh, kembali menyimak pembelajaran di layar dan tak lupa mengaktifkan kembali fitur on cam.

Kelas pagi ini berakhir pukul sembilan dan dilanjut dengan pemberian tugas yang cukup banyak. Oh ya, sekarang aku tengah berada di kelas 11 SMA. Aku sama sekali belum pernah berkunjung langsung ke sekolah sejak pertama kali aku mendaftar, miris sekali.

 “Dhit, kamu mau jemput Ilham ke sekolah? Tadi dia berangkat sebentar.”

Hari ini entah sudah keberapa kali aku menghela napas. “Gak bisa bu, tugas Dhita banyak.” Kulihat dari pantulan cermin, ibu berjengit, mungkin kaget mendengar suaraku yang agak meninggi. Entah kenapa, aku jadi sering kesal semenjak pandemi ini. Aku merasa lelah fisik dan emosiku juga tidak stabil.

Tidak ada sahutan dari ibu. Lalu beberapa menit kemudian, terdengar suara motor dinyalakan. Karena penasaran, aku mengintip dari jendela. Terlihat ibu yang bersiap pergi, sepertinya hendak menjemput Ilham.

Aku pun melanjutkan aktivitasku mengerjakan tugas. Dan tepat ketika ibu pulang, tugasku selesai.

“Sarapan dulu Dhit,” panggil ibu seraya mengeluarkan tiga bungkus nasi dari dalam plastik.

“Nanti bu,” ucapku seraya sibuk menatap layar android.

“Sudahlah nduk, Handphonenya nanti lagi.” Suara ibu terdengar parau, seperti sedang menahan marah.

“Sebentar lagi, bu.” Desahan kesal keluar dari mulutku. Tanganku masih sibuk membalas satu per satu pesan yang masuk.

“Ayo nduk, sarapan bareng, ibu buatin kamu teh ini lho.” Aku melihat sekilas ibu yang datang dari arah belakang dengan membawa dua gelas teh.

Karena masih asyik membalas pesan di salah satu aplikasi chat, aku tetap tak mengindahkan permintaan ibu. “Iya bu, aku sarapannya nanti saja.”

Selanjutnya, aku hanya mendengar helaan napas lelah dari ibu. Karena tak kunjung mendapat kepastian dariku, ibu memilih memakan sarapannya seorang diri.

Sore harinya, tidak ada yang berubah. Aku baru saja selesai salat ashar dan seperti biasa, hendak mengecek notifikasi dari handphone lalu sesekali melihat story teman-teman yang diunggah melalu media sosial instagram.

“Ih yaampun dia sekarang ko gini sih, padahal dulu alim banget.”

“Duh, lihat story dia, jalan-jalan terus, perasaan lagi PPKM gini, pamer banget.”

“Ih, dia ngapain posting ini, bosen banget setiap hari ini terus, emang apa gunanya sih jadi fansnya artis itu, bikin kesel aja.”

Mulutku yang sedari tadi sibuk mengomentari story mereka langsung terdiam ketika suara ibu nyaring terdengar.

“Dhit,” panggil ibu dari balik pintu.

“Kenapa bu?”

“Lagi apa kamu nduk?”

“Tugas, bu.” Aku berbohong, tetapi aku benar-benar sedang tak ingin diganggu.

“Dari tadi pagi tugas terus nduk, emang masih banyak banget?” sedikit ada rasa bersalah karena berani berbohong kepada ibu, tapi sore ini adalah waktuku bersantai dan alhasil jadilah aku berbohong lagi.

“Lumayan Bu, deadline nya hari ini soalnya.” Bohong. Padahal semua tugasku hari ini sudah selesai. Terdengar helaan napas dari balik pintu. Ibu tetap tak mau masuk ke kamarku, sepertinya sedari tadi beliau hanya berdiri di posisinya.

“Ya sudah nduk, padahal Ibu mau ngajak kamu makan pisang goreng bareng, udah ibu buatin teh panas juga. Beneran kamu gak mau nduk? Pisangnya enak banget lho ini.” Suara ibu melemah, sepertinya beliau kecewa.

“Sisakan saja pisangnya, bu. Nanti aku makan setelah tugas selesai.” Aku mencoba menetralkan suaraku agar tak terdengar gugup. Bohong jika aku tak ingin makan pisang bersama ibu sore ini, tapi lagi-lagi berduaa bersama handphone terlihat lebih menarik.

Hingga maghrib tiba, aku baru keluar kamar. Berencana mengambil wudhu dan salat maghrib bersama ibu biasanya. Tapi, aku tidak melihat ibu di mushola kecil rumah kita. Akhirnya, aku berniat mencari ibu di kamarnya.

Aku memanggil ibu namun tak ada jawaban. Kuputuskan membuka pintu dan terlihat ibu tengah meringkuk di kasur dengan selimut tebal yang melapisinya. Pelan aku menghampirinya, tidak seperti biasa ibu seperti ini.

“Jam berapa ini, nduk?” ibu sepertinya menyadari kehadiranku. Aku terkesiap, matanya merah, bibirnya pucat, wajahnya sayu. Badannya juga panas ketika kutempelkan punggung tanganku ke dahi ibu.

“Ya Allah, ibu demam, sejak kapan?” ibu terdiam, tak menjawab pertanyaanku. Kuputuskan mengambil air putih dan obat.

“Sejak kapan, bu?” aku mengulangi pertanyaanku sekembalinya ke kamar.

 “Ibu sudah gak enak badan sejak tadi pagi, kak.” Ilham, adikku itu justru yang menyahut. Entah, sejak kapan dia berada di sini.

“Lho bu, kenapa gak bilang?” aku menatap ibu tak percaya. Menuntun ibu untuk mendudukkan badan dan menyenderkan kepalanya ke bahu kasur. Lalu membantunya meminum obat.

“Kak, ayo solat, ibu makmum kamu,” balas ibu mengalihkan pembicaraan. Ibu melakukan tayamum dan kami bersiap untuk solat.

Selesai salat dan berdoa, aku menyalami ibu. Menatap mata beliau yang tidak secerah seperti biasa. Suasana hening menyelimuti kami beberapa detik.

“Ada yang mau kamu ceritakan Dhit ke ibu?” aku menatap ibu bingung. “Gak ada, bu.”

“Ya sudah, ibu yang mau cerita kali ini.” Ada jeda sebentar sebelum ibu kembali berbicara. “Ibu tadi video call sama bapak dan katanya, bapak kangen sama kamu. Sudah jarang kamu menghubungi bapak Dhit, kenapa?”

Aku mendesah lirih, menatap bawah dan tak berani menatap mata sendu ibu.

“Meski sekadar tanya kabar, tapi itu jadi hal kecil yang membuat bapak semangat kerja di sana lho, Dhit.” Ibu mengelus pucuk kepalaku lembut.

“Dan soal ibu yang perintah kamu sebentar untuk beli sarapan dan jemput Ilham….” Kalimat ibu menggantung. Meninggalkan aku yang terdiam cukup lama.

“Maaf.” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku pada akhirnya.

“Gak, ibu gak marah, ibu memaklumi karena kamu mungkin memang sedang sibuk mengerjakan tugas,” tukas beliau.

“Sekarang , tentang pertanyaan kamu tadi, kenapa ibu gak memberitahu kamu kalau ibu sudah sakit sejak pagi?” suara ibu serak dan itu cukup membuat mataku memanas.

“Semenjak pandemi ini, kamu gak  pernah ada waktu untuk sekadar ngobrol sama ibu, nduk. Jangankan ngobrol panjang seperti ini, ibu minta kamu untuk sarapan bareng saja kamu gak mau.” Ada jede beberapa detik sebelum ibu melanjutkan. “Mungkin kalau ibu gak sakit, gak ada obrolan panjang seperti sekarang. Setelah salat berjamaah, kamu pasti langsung pergi lagi. Alasan yang kamu bilang selalu tugas, tugas, dan tugas.” Desahan kecewa keluar dari mulut ibu. Rasa bersalah sepenuhnya sudah menggelayut di diriku. Cairan bening mulai melengos keluar dengan mudahnya, aku menangis.

“Ibu sama sekali gak menyalahkan tugas, justru bagus karena kamu selalu tepat waktu mengumpulkannya. Tapi, ibu keberatan dengan waktu yang terlalu over kamu berikan kepada gadget, sampai kamu gak sadar menyakiti diri kamu sendiri. Contohnya, kamu sampai telat sarapan tadi pagi.”

“Ibu lihat, akhir-akhir ini kamu jadi mudah marah, gusar, gelisah. Kalau kamu marah kamu bisa sampai melukai orang-orang sekitar bahkan melukai diri kamu sendiri. Bukan marahnya yang salah, tapi mengekspresikan amarah itu yang kurang tepat.”

“Caranya gimana? Pasti kamu mau tanya itu.” ibu terkekeh, suaranya parau tapi kesan tegasnya masih melekat di setiap penggalan kata.

“Pertama, kamu harus jujur sama diri kamu sendiri. Ungkapkan kalau kamu memang lagi marah, sedih, kecewa, lelah, dan segala bentuk emosi lain. Ini sederhana, tapi banyak yang gak bisa melakukan ini karena terlilit gengsi. Misal gini, bapak lagi sedih, tapi bapak menyangkal itu karena dia merasa kalau jadi lelaki gak boleh sedih bahkan nangis. Apa yang terjadi? Bukannya tambah lega, bapak jadi mudah stress dan depresi.”

“Kedua, ekspresikan amarah sesuai versi kamu. Setelah kamu mengakui kalau kamu lagi marah, coba diam atau tarik nafas, bisa juga sembari olahraga, nonton film, masak, atau bahkan ada yang ketika marah, mereka memilih bersih-bersih rumah. Jadi dengan sendirinya, perasaan marah itu akan hilang.”

Ibu terdiam sebentar lalu membasahi tenggorokannya dengan meminum setengah gelas air putih.

“Keadaan pandemi seperti ini, keluarga memang punya peran lebih besar untuk saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lain agar tidak melukai diri sendiri dan melukai orang lain tentunya. Apalagi semua serba online sekarang, nah, ibu juga kecewa sama sikap kamu yang mudah nyinyir orang lain di media sosial. Kita gak bisaseenaknya menjudge  sama apa yang orang lain unggah di platform medsos mereka. Kalau gak suka, gak usah dilihat atau unmute sekalian, lebih sederhana dan gak menimbulkan dosa. Di era sekarang, menumbuhkan jiwa berempati dan bersimpati juga penting sekali. Ngerti ya, Dhit.” Terakhir, ibu menyentil hidungku pelan, sembari berusaha tersenyum meski bibirnya pucat.

Terakhir, air mataku mengucur deras. Meski sedang sakit seperti ini, ibu tetap berusaha merangkul aku dengan senyumnya yang menenangkan. Terakhir kupeluk ibu  dan mengucapkan maaf.

“Ayo, kita telfon bapak.”

Aku mengganguk, mengusap air mataku dengan lengan baju sebelah kanan. Aku membantu ibu mengambil handphone di nakas. Beberapa menit kemudian, kami sudah tersambung dengan bapak di seberang sana.

Hatiku mencelos melihat senyum hangat bapak. Meskipun aku tahu, dibalik itu, ada perasaan lelah yang berusaha beliau tutupi.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Aku Sudah “Normal”

Oleh: Natasya Pustika Siregar

Semburat mentari diufuk timur menyinari kulit sawo matangku, suara burung-burung
berkicau terdengar di telingaku. Pagi ini aku sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Pemda Daerah, aku diajak dengan Bu Endah untuk menghadiri acara senam disana bersama beliau.

“Udah siap stev?” Bu Endah muncul dari balik pintu dan mendekat untuk membetulkan tatanan poni ku yang sedari tadi membuat ku gelisah karena tidak benar-benar rapi.

“Hmm, aku sudah siap bu. Tapi, apakah baik baik saja aku kesana? maksudku, apa tidak akan menimbulkan masalah?”

“Memangnya kenapa? Toh, kita disana akan bersenang-senang dan berjoget ria. Tidak ada yang akan terjadi manis.” Aku menatap Bu Endah dengan sedikit tersenyum agar beliau tidak merasa kesusahan oleh ku.

Bu Endah, wanita berusia 40 tahun ini adalah psikiater ku selama 6 bulan di rumah sakit jiwa dan hari ini adalah hari terakhir ku disini. Beliau sangat perhatian kepada ku bahkan selalu mengajak ku berjalan-jalan untuk menghirup udara segar.

“Stev, kok malah bengong si. Ayok” Bu Endah ternyata sudah Berdiri di dekat pintu hendak keluar dan aku pun mengikuti nya untuk segera pergi ke Pemda Daerah.
***
Bu Endah bergerak dengan energik mengikuti irama senam. Banyak orang disini bahkan bapak bupati pun mengikuti acara senam ini. Aku senang sekali bisa merasakan keramaian ini setelah dipasung selama 8 bulan oleh kelurga ku sendiri karena gangguan bipolar.

Bu Endah lah yang menyelamatkan ku dan aku tidak sendiri bahkan ternyata ada sekitar 80 pasein yang mengalami gangguan kejiwaan yang dipasung oleh kerabat dekatnya. Jujur, itu sangat traumatis sekali untuk ku. Tapi, bisa bangkit dari hal itu adalah hal yang luar biasa untukku
dan tentunya Bu Endah lah yang membantuku.

“Stev kok malah bengong si, kita akan bersenang-senang disini. mari berjoget bersama ku. Setelah itu kita akan berkunjung ke rumah mu yang baru. Oke?” Bu Endah mengatakan itu cukup keras karena aku sedari tadi hanya diam dan tidak percaya diri untuk ikut senam.

Karena tak enak dengan beliau akhirnya aku pun bergerak mengikuti irama senam.

Aku bahagia dan tidak ada yang dapat memasung kebahagiaan aku lagi.

***
Aku dan Bu Endah kini sudah di depan rumah baruku, Bu Endah meraih bahuku dan mengajak ku untuk masuk ke dalan rumah.

“Bu apa lampu nya memang terang seperti ini?” Kata ku pada Bu Endah saat sudah berada di dalam rumah bergaya minimalis ini. Rumah ini adalah pemberian dari Bu Endah karena aku dibuang oleh keluarga ku sendiri.

“Iya memang, aku rasa ini baik untuk mu yang suka membaca buku malam-malam stev.” Bu endah sedikit mentertawakan kebiasaan ku. Aku suka tawa renyah dan hangatnya.

“Terima kasih banyak, bu.”

“Aku harap kamu bisa menjalani hidup mu lebih baik, stev.” Suasana pun berubah menjadi sendu saat Bu Endah mengatakan itu dengan sangat tulus.

“Aku janji bu. Tidak akan ada lagi yang memasung kebahagiaan dan hidup ku.” Aku
memeluk Bu Endah erat, aku rindu ibu tapi aku rasa Bu Endah adalah sosok ibu sekaligus psikater yang sangat baik untuk ku.

Hari ini, hari ini aku keluar dari Rumah Sakit Jiwa.

Aku tidak gila, aku hanya pernah sakit dan sekarang aku “sembuh”.

END

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.